B uku Di Tepi Sungai Dajlah itu sebenarnya semacam catatan perjalanan Buya Hamka waktu beliau pergi ke Irak. Tapi jangan bayangin kayak ...

 


 Buku Di Tepi Sungai Dajlah itu sebenarnya semacam catatan perjalanan Buya Hamka waktu beliau pergi ke Irak. Tapi jangan bayangin kayak travel blog yang isinya cuma “aku ke sini, aku makan ini”. Nggak gitu. Ini lebih ke perjalanan batin dan pikiran.

Bayangin kamu lagi jalan-jalan ke tempat yang punya sejarah panjang banget tentang Islam. Nah, di sepanjang jalan, kamu nggak cuma lihat-lihat, tapi juga mikir: “Dulu Islam pernah jaya banget ya di sini. Kok sekarang kayak gini?”

Itu yang Hamka rasakan waktu dia berdiri di tepi Sungai Dajlah, sungai legendaris yang lewat kota Baghdad. Sungai itu jadi saksi bisu naik-turunnya peradaban Islam.

Buku ini lahir dari perjalanan Buya Hamka ke Timur Tengah, khususnya ke Irak, sebagai bagian dari kegiatan internasional pasca kemerdekaan Indonesia. Kunjungannya ke Baghdad, kota yang dahulu menjadi pusat kejayaan Islam, membuka ruang refleksi yang dalam bagi dirinya—bukan hanya sebagai seorang intelektual dan ulama, tetapi juga sebagai seorang Muslim yang bergulat dengan sejarah peradaban dan makna kebangkitan umat.

Buya Hamka mencatat pengalamannya secara puitis dan kontemplatif, lalu menyusunnya menjadi esai naratif yang sarat makna. Sungai Dajlah (Tigris), yang mengalir melewati kota Baghdad, dijadikan simbol arus sejarah, peradaban, dan nilai-nilai Islam yang terus berubah dari masa ke masa.

Di Tepi Sungai Dajlah bukanlah novel fiktif, tetapi catatan perjalanan intelektual dan spiritual. Buya Hamka menuliskan kesan-kesannya ketika menapakkan kaki di tanah Baghdad—yang dalam sejarah Islam dikenal sebagai pusat ilmu, kebudayaan, dan kekuasaan khalifah Abbasiyah.

Ia mengunjungi tempat-tempat bersejarah seperti Karbala dan Najaf, yang erat kaitannya dengan sejarah Syiah, terutama makam Husein bin Ali dan Ali bin Abi Thalib, sisa-sisa istana Khalifah Harun ar-Rasyid, simbol kejayaan Islam di masa Abbasiyah.

Lingkungan sekitar Sungai Dajlah, yang menyimpan banyak jejak sejarah. Dalam perjalanannya, Buya Hamka mengangkat tema: Perpecahan Sunni–Syiah, Keruntuhan Baghdad oleh tentara Mongol, Kemunduran intelektual umat Islam, Spirit toleransi dan adab berziarah dan Tafakur atas kejayaan yang hilang dan tanggung jawab umat masa kini

Buya Hamka tidak hanya berhenti pada nostalgia. Buya Hamka menyadarkan pembaca tentang perlunya introspeksi diri, kebangkitan ilmu, dan pembinaan akhlak umat agar Islam kembali kepada semangat aslinya yang agung. 4 bintang untuk buku ini.

 

Judul Buku : Honeymoon With My Brother Penulis : Franz Wisner Penerjemah : Berliani M. Nugrahani Penerbit : Serambi Ilmu Semesta Jumlah Hala...

Judul Buku : Honeymoon With My Brother
Penulis : Franz Wisner
Penerjemah : Berliani M. Nugrahani
Penerbit : Serambi Ilmu Semesta
Jumlah Halaman : 592 Halaman
Harga : Rp. 69.000
ISBN : 9789790243866 

Pernikahan impian. Tunangan sempurna. Karier politik yang gemilang. Franz Wisner, seorang pria mapan dengan kehidupan yang tampak tak bercela, merasa dirinya telah berada di puncak segalanya. Namun hidup, sebagaimana sering terjadi, menyimpan kejutan-kejutan yang tak bisa diprediksi. Hanya beberapa hari sebelum hari pernikahan yang telah dirancang sempurna, tunangannya membatalkan segalanya. Undangan sudah tersebar. Tamu-tamu sudah diundang. Hotel sudah dibayar. Tapi cinta yang ia kira akan menjadi kekal, runtuh begitu saja.

Dalam pusaran rasa malu, kecewa, dan kebingungan, Franz menghadapi kenyataan pahit: ia tidak hanya kehilangan calon istrinya, tapi juga sebagian besar dari identitas dirinya yang selama ini melekat pada status sosial, pekerjaan, dan rencana hidup yang telah disusun rapi. Hidupnya, yang semula berjalan pada rel aman dan terencana, kini terasa kosong dan tak berarti.

Namun di tengah kehancuran itu, muncul satu keputusan impulsif namun penuh makna: mengubah bulan madu yang telah dipesan menjadi perjalanan bersama saudaranya, Kurt. Kurt — saudara laki-lakinya yang selama bertahun-tahun hubungannya renggang, dan hanya sesekali terdengar kabarnya. Mungkin orang lain akan mengurung diri dalam kamar, menangisi nasib, atau mencari pelarian dalam pekerjaan. Tapi tidak dengan Franz. Ia memilih untuk pergi — bukan untuk melupakan, tapi untuk menemukan kembali siapa dirinya sebenarnya.

Bersama Kurt, mereka memulai perjalanan yang awalnya hanya seharusnya berlangsung beberapa hari, namun berkembang menjadi perjalanan keliling dunia selama lebih dari setahun. Dari pasir-pasir gurun Maroko hingga pegunungan Peru, dari kuil-kuil di Thailand hingga pasar-pasar di Vietnam, keduanya tidak hanya menelusuri berbagai penjuru bumi, tapi juga membuka kembali ruang-ruang dalam hati mereka yang lama terkunci.

Dalam setiap tempat yang mereka kunjungi, Franz dan Kurt menyelami budaya, bertemu orang-orang asing yang ramah, menjajal makanan baru, dan bahkan menghadapi kesulitan-kesulitan tak terduga — semua itu dengan cara yang jenaka, reflektif, dan penuh kejujuran. Mereka tertawa bersama, bertengkar, saling membuka luka lama, dan membangun ulang hubungan persaudaraan yang dulu rapuh. Dari dua pria dewasa yang semula canggung satu sama lain, mereka menjelma menjadi sahabat sejati.

Apa yang membuat perjalanan ini begitu menyentuh adalah bagaimana Franz menulisnya dengan kejujuran brutal namun tetap dibalut humor yang cerdas. Ia tidak berusaha menjadi korban dalam kisahnya, tetapi justru membuka diri terhadap segala pelajaran yang ia temui di jalan. Perjalanan ini bukan hanya soal negara-negara eksotis atau momen Instagramable — ini adalah tentang memulihkan hati, menemukan arah hidup yang baru, dan belajar kembali tentang makna cinta dan keluarga.

Franz menyadari bahwa selama ini hidupnya terlalu terikat pada ekspektasi: menjadi pria yang sukses, menikah pada usia tertentu, punya pekerjaan yang terlihat membanggakan, dan mengikuti peta kehidupan yang dibuat oleh masyarakat. Tapi justru ketika peta itu terbakar, dan ia terjun ke wilayah tak dikenal tanpa arah yang pasti, ia benar-benar mulai hidup.

Kurt sendiri adalah sosok yang menarik. Ia berbeda dari Franz: lebih santai, lebih terbuka, dan lebih berani mengambil risiko. Meski pada awalnya terlihat sebagai pelengkap, seiring waktu Kurt menjadi cermin bagi Franz — menunjukkan bahwa kebahagiaan tidak selalu datang dari kontrol dan prestasi, tetapi dari kemampuan untuk hadir di momen sekarang, tertawa saat gagal, dan menerima hidup apa adanya.

Salah satu kekuatan utama dari Honeymoon with My Brother adalah kemampuannya untuk menyentuh sisi emosional pembaca tanpa terasa sentimental. Setiap cerita tentang tempat yang mereka kunjungi dibumbui dengan refleksi pribadi, yang kadang jenaka, kadang getir, tapi selalu terasa manusiawi. Tidak ada kesan menggurui. Tidak ada drama yang dibuat-buat. Hanya dua saudara laki-laki yang mencoba mengisi kekosongan dalam hidup mereka dengan petualangan dan tawa.

Di balik cerita perjalanan yang penuh warna, ada benang merah yang mengikat semuanya: bahwa dalam hidup, kehilangan bisa menjadi awal dari penemuan; bahwa keluarga, seberapapun rumitnya, bisa menjadi tempat untuk pulang dan bertumbuh; dan bahwa dunia ini terlalu besar dan terlalu indah untuk diabaikan hanya karena satu luka hati.

Dalam perjalanan mereka, Franz mulai memahami bahwa cinta sejati tidak harus datang dari hubungan romantis. Ia menemukannya dalam bentuk lain: dalam pelukan kakaknya, dalam percakapan larut malam dengan orang asing, dalam napas yang ia hirup saat berdiri di pegunungan yang belum pernah ia datangi sebelumnya. Ia belajar untuk mencintai hidupnya — dengan segala kekacauan, ketidaksempurnaan, dan kejutan-kejutan yang menyertainya.

Menjelang akhir buku, pembaca dibawa pada perasaan hangat: bukan karena Franz akhirnya “menang” dalam hidup, tetapi karena ia menerima dan mencintai hidup itu sendiri. Ia kembali dari perjalanannya bukan sebagai pria yang sama, tapi sebagai seseorang yang lebih jujur, lebih bebas, dan lebih manusiawi.

  Judul: Second Sister Penulis: Chan Ho-Kei Terbit: 2020 Genre: Thriller, Misteri, Teknologi Novel pertama yang berhasil kuselesaikan di awa...

 

Judul: Second Sister
Penulis: Chan Ho-Kei
Terbit: 2020
Genre: Thriller, Misteri, Teknologi

Novel pertama yang berhasil kuselesaikan di awal tahun ini adalah  Novel Second Sister karya Chan Ho-Kei. Awalnya saya maju mundur untuk memulai membaca novel ini, mengingat tebalnya lebih dari 600 halaman. Takuknya, novel ini sedikit membosankan, namun begitu memulainya saya seakan diajak sang detektif “N” untuk mengungkap siapa dalang dari pembunuhan gadis muda itu. Novel ini mengisahkan seorang wanita muda bernama Nga-Yee yang berusaha mengungkap kebenaran di balik kematian tragis adiknya, Siu-Man. Siu-Man ditemukan tewas setelah jatuh dari balkon apartemen mereka di Hong Kong, dan kasus ini awalnya dianggap sebagai bunuh diri. Namun, Nga-Yee merasa ada sesuatu yang janggal, terutama setelah menemukan petunjuk tentang cyberbullying yang dialami Siu-Man sebelum kematiannya.


Untuk mengungkap kebenaran, Nga-Yee meminta bantuan seorang hacker jenius bernama N—seorang pria eksentrik dengan kemampuan luar biasa dalam membobol sistem keamanan digital. Bersama, mereka menelusuri jejak digital dan mengungkap konspirasi yang jauh lebih besar dari yang mereka bayangkan.


Chan Ho-Kei mengangkat isu yang sangat aktual, yaitu cyberbullying dan dampak media sosial terhadap kehidupan seseorang. Novel ini menggambarkan bagaimana teknologi bisa digunakan untuk menghancurkan seseorang, tetapi juga bisa menjadi alat untuk mencari keadilan.


Nga-Yee adalah karakter yang kuat dan berani, meskipun tidak memiliki keterampilan teknis seperti N. Sementara itu, N adalah antihero dengan kecerdasan luar biasa tetapi memiliki sifat yang sulit ditebak. Interaksi mereka membangun dinamika yang menarik sepanjang cerita.


Sungguh, Second Sister ini dipenuhi dengan plot twist yang tak terduga. Pembaca diajak mengikuti investigasi yang penuh ketegangan, di mana setiap petunjuk membawa mereka ke rahasia yang lebih dalam. Second Sister adalah novel thriller yang cerdas dan penuh kejutan, menggabungkan elemen investigasi klasik dengan dunia digital yang semakin relevan di era modern. Dengan karakter yang menarik dan plot yang penuh intrik, novel ini sangat direkomendasikan bagi penggemar cerita misteri yang berpikir mendalam.


Rating: 4.5/5


  30 Paspor di Kelas Sang Profesor adalah buku terakhir yang saya baca tahun ini, sekaligus menjadi penutup perjalanan saya menyelesaikan G...

 


30 Paspor di Kelas Sang Profesor adalah buku terakhir yang saya baca tahun ini, sekaligus menjadi penutup perjalanan saya menyelesaikan Goodreads Challenge 2024. Tahun ini, saya hanya menargetkan membaca 20 buku. Target yang sederhana, tapi ternyata tetap terasa berat. Alhamdulillah berhasil kuselesaikan dengan terseok-seok.

Buku ini menjadi penutup yang manis. Ia menceritakan pengalaman 30 mahasiswa Universitas Indonesia (UI) di bawah bimbingan Prof. Rhenald Kasali. Dalam mata kuliah Pemasaran Internasional, Prof. Rhenald memberikan tugas yang tidak biasa: perjalanan ke luar negeri secara mandiri. Tujuan tugas ini bukan sekadar memenuhi nilai, tapi untuk melatih mereka menjadi pribadi yang mandiri, bebas, dan bertanggung jawab—yang beliau sebut sebagai self-driving.  

Buku ini ditulis dengan sangat menarik oleh J.S Khairan. Kisah-kisah yang disajikan meski sederhana tapi sungguh menarik, buku ini type buku yang bisa diselesaikan dalam sekali baca. Saya menyelesaikannya dalam waktu kurang dari empat jam, di sela-sela perjalanan saya pulang ke rumah. Di setiap halamannya, ada cerita petualangan yang seperti menyegarkan pikiran saya, seperti oasis di tengah kesibukan kerjaan yang tiada habisnya. Buku ini sungguh hadir di saat -saat saya begitu merindukan menggendong carrier saya, bertualang ke sembarang tempat dan tersesat.

Saya selalu menyukai kisah perjalanan. Bagi saya, perjalanan—apalagi ke tempat yang benar-benar asing—adalah pengalaman yang mampu mengubah cara kita memandang dunia, belajar menerima hal-hal baru, berdamai dengan pemakluman-pemakluman baru dan menemukan sudut pandang yang tidak pernah terpikirkan sebelumnya. Pragmen-pragmen kehidupan seperti itu sungguh sebuah pelajaran yang tak bisa kita temukan jika hanya duduk di bangku kuliah. 4 bintang untuk buku ini. Sungguh sebuah kisah menarik untuk mengakhiri tahun 2024 ini.


Judul: Effortless: Make It Easier to Do What Matters Most Penulis: Greg McKeown Penerbit: Currency Tahun Terbit: 2021 Jumlah Halaman: 2...

Judul: Effortless: Make It Easier to Do What Matters Most

Penulis: Greg McKeown
Penerbit: Currency
Tahun Terbit: 2021
Jumlah Halaman: 256

sumber: internet

 "Effortless" adalah karya terbaru dari Greg McKeown, penulis buku laris "Essentialism". Dalam buku ini, McKeown mengajarkan bagaimana kita bisa mencapai hasil yang diinginkan tanpa kelelahan dan kehabisan energi. Melalui pendekatan yang lebih ringan dan menyenangkan, McKeown menekankan bahwa kita dapat mencapai kesuksesan tanpa harus bekerja terlalu keras atau mengalami stres berlebihan.

Isi dan Pokok-Pokok Pemikiran:
Prinsip Dasar: Buku ini berfokus pada gagasan bahwa pekerjaan tidak harus selalu sulit untuk menjadi berharga. McKeown menantang pemikiran tradisional yang mengaitkan kerja keras dengan nilai kerja, dan memperkenalkan konsep bahwa kerja cerdas dan terfokus lebih efektif.
Tiga Bab Utama:
Effortless State: Bagian ini mengeksplorasi bagaimana menciptakan kondisi mental yang optimal untuk bekerja dengan cara yang mudah. McKeown berbicara tentang pentingnya tidur yang cukup, menjaga keseimbangan emosi, dan mengelola energi dengan bijaksana.
Effortless Action: McKeown memberikan strategi untuk membuat tindakan kita lebih mudah dan efisien. Ini termasuk mengeliminasi langkah-langkah yang tidak perlu, mengotomatisasi tugas-tugas, dan memfokuskan pada apa yang benar-benar penting.
Effortless Results: Di sini, McKeown menjelaskan bagaimana menghasilkan hasil yang signifikan tanpa harus mengorbankan kesehatan atau waktu. Dia menyoroti pentingnya sistem yang mendukung dan upaya kolaboratif.
Contoh dan Studi Kasus: Buku ini kaya dengan contoh nyata dan studi kasus dari berbagai industri dan latar belakang yang menunjukkan bagaimana prinsip-prinsip "Effortless" diterapkan dalam kehidupan sehari-hari dan pekerjaan.
Setiap bab dilengkapi dengan latihan praktis dan alat yang dapat langsung digunakan pembaca untuk mulai mengimplementasikan konsep "Effortless" dalam kehidupan mereka.
Kelebihan:
Praktis dan Terstruktur: McKeown menyajikan konsep yang mudah diikuti dan diimplementasikan. Setiap ide didukung dengan latihan praktis yang memudahkan pembaca untuk menerapkannya.
Inspiratif: Buku ini penuh dengan wawasan yang menginspirasi dan memotivasi pembaca untuk meraih lebih tanpa harus berjuang keras.
Relevan: Konsep-konsep yang diajukan sangat relevan dengan tantangan modern seperti stres kerja, burnout, dan manajemen waktu.
Kekurangan:
Pengulangan: Beberapa pembaca mungkin menemukan beberapa konsep diulang-ulang untuk penekanan, yang bisa terasa membosankan.
Abstrak bagi Sebagian Orang: Meski banyak alat praktis, beberapa ide mungkin terasa terlalu abstrak bagi mereka yang lebih suka instruksi langsung dan spesifik.
Kesimpulan:
"Effortless" karya Greg McKeown adalah bacaan yang sangat relevan dan bermanfaat bagi siapa saja yang ingin mencapai lebih banyak dengan upaya yang lebih sedikit. Buku ini mengajarkan bahwa dengan mengubah cara kita berpikir dan bertindak, kita dapat mencapai kesuksesan tanpa kelelahan dan stres. Pendekatan McKeown yang praktis dan inspiratif membuat "Effortless" menjadi panduan yang berharga untuk hidup dan bekerja dengan cara yang lebih mudah dan menyenangkan.

3 bintang untuk buku ini, membacanya ternyata tidak se-effortless judulnya, perlu effortful untuk benar-benar menyelesaikan buku setebal 256 halaman ini.

   Saya menemukan thread yang menarik di X tentang keluhan betapa susahnya mendapatkan nilai yang memuaskan di Kampus Online terbesar di Ind...

  

Saya menemukan thread yang menarik di X tentang keluhan betapa susahnya mendapatkan nilai yang memuaskan di Kampus Online terbesar di Indonesia, yup di Universitas Terbuka. Saya kebetulan jadi tutor di UT sudah lumayan lama, dan selama ini permasalahannya seputar itu aja, mahasiswa ingin mendapat nilai tinggi tapi  effortless, cuman mau nya copas copes tidak jelas sumbernya tapi mau dapat nilai maksimal. haha jangan harap.

Pada dasarnya proses penilaian di UT itu sangat sederhana. Kalian cukup mengikuti setiap sesi diskusi dari sesi 1 sampai 8, dan mengerjakan tugas 1 sampai 3. Jadi di setiap mata kuliah itu, hanya ada 3 tugas selama satu semesternya. Tugas di sesi 3, sesi 5 dan sesi 7. Jika kalian sudah mengikuti semua diskusi dan tugas di setiap sesinya, nilai kalian sudah dibilang mulai di ambang batas aman. Sisanya kalian tinggal mengikuti ujian semesteran. Ingat, UAS ini tidak lagi ada campur tangan tutor dalam pemberian nilai. Semuanya murni dari pihak manajemen jurusan. Tutor hanya menilai di setiap sesi diskusi dan sesi tugas. Jadi kalian harus maksimalkan di sesi ini. Nah untuk mendapat nilai maksimal bagaimana caranya ? tentu tidak dengan hanya mengcopas jawaban dari internet, kalian paling tidak harus punya sedikit usaha ekstra, tidak sulit-sulit kok.

Nah berikut ku kasi saran, bagaimana mendapatkan nilai maksimal di setiap mata kuliah di UT. Jadi, yang pertama yg harus kalian perhatikan:

  1. Pastikan mengikuti semua sesi diskusi dari sesi 1 – 8. Perhatikan due date yang tesedia. Tutor hanya menilai diskusi pada waktu yang tersedia.
  2. Usahakan kalian adalah orang yang paling pertama atau paling tidak menjawab sesi diskusi di waktu-waktu awal diskusi terbuka. Kenapa harus di awal2, karena jika jawaban diskusi kalian belum maksimal, kalian masih punya kesempatan merevisi jawaban dan tutor masih punya waktu merevisi penilaiannya.
  3.  Perhatikan korelasi topik diskusi dan jawaban yang kamu cantumkan, jangan sampai topik diskusi A kamu ngelantur kemana-mana jawab B sampai Z
  4.  Untuk setiap sesi diskusi, usahakan jawabannya cukup di laman elearning UT, tidak usah upload file pdf/word, agar jawabanmu terbuka untuk umum dan bisa di baca teman kelas lainnya.
  5. Usahakan jawabannya tidak terlalu panjang2, ambil poin inti dan penting2nya saja. Tutor juga malas membaca jawaban copas sampai dua halaman yang tidak esensial.
  6. Tambahkan simpulan atas jawabanmu, gunakan bahasa mu sendiri bukan dari bahasa sumber yang kamu kopas.
  7.  Ini yang paling penting, sumber rujukan yang kamu gunakan harus dari sumber yang relevan/ilmiah. Jangan sekali-kali kopas dari blog, webb, media massa atau sumber tidak jelas lainnya. Biasakan mengutip dari Buku BMP, jurnal atau sumber-sumber kredibel lainnya.
  8.  Cantumkan sumber bacaanmu/sumber rujukannya, biar kamu tidak terkesan kopas jawaban temanmu. Ingat biasanya tutor menilai tergantung referensi yang kamu kutip. Makin kredibel kutipanmu, makin bagus nilaimu.
  9.  Jangan lupa kerjakan tugasnya tepat waktu. karena tutor hanya bisa memberi penilaian pada waktu yang telah di tentukan manajemen UT. tutor tdk bisa mengutak atik sistem untuk mentolerir keterlambatan kalian
  10.  Terakhir, jangan sungkan reminder Tutornya jika terlambat memberi penilaian. Itu hak kalian.



*berikut contoh jawaban diskusi yang bisanya kukasi nilai maksimal

Jika kalian melakukan langkah-langkah di atas saya yakin kalian bisa dapat nilai minimal 90-100 di setiap sesi diskusinya.  Selain itu, yang paling penting yang sangat wajib kalian perhatikan adalah hasil UAS kalian. UAS ini menjadi komponen penilaian tertinggi pada kegiatan tutorial porsinya bisa sampai 70% dari semua penilaian.

 

terimakasih

Kapan-kapan jika ada waktu, saya bahas cara mudah lulus karil di UT


  Judul : Twenty-Four Eyes (NijÅ«shi no Hitomi) Penulis : Sakae Tsuboi Tahun Terbit : 1952 Genre : Fiksi Historis Sinopsis : "Twent...

 



Judul: Twenty-Four Eyes (Nijūshi no Hitomi)
Penulis: Sakae Tsuboi
Tahun Terbit: 1952
Genre: Fiksi Historis

Sinopsis: "Twenty-Four Eyes" adalah sebuah novel yang berlatar di sebuah desa kecil di pulau Shodoshima, Jepang. Cerita ini dimulai pada tahun 1928 dan mengikuti perjalanan seorang guru muda bernama Hisako ÅŒishi, yang mengajar kelas pertama di sekolah dasar setempat. Sebagai seorang pendatang baru, dia harus menghadapi tantangan dan rintangan yang muncul dari perbedaan antara metode pengajarannya yang modern dan pandangan konservatif masyarakat desa. Novel ini menjelajahi kehidupan 12 muridnya, yang masing-masing menghadapi berbagai kesulitan, harapan, dan impian mereka, seiring dengan perubahan zaman yang penuh gejolak, termasuk periode perang dunia kedua.

Dua Belas Pasang Mata, karya sastrawan Jepang ternama Sakae Tsuboi, mengajak pembacanya menyelami kisah haru seorang guru perempuan bernama Oishi yang ditugaskan di sebuah sekolah pelosok di sebuah pulau kecil. Novel ini bukan hanya tentang lika-liku dunia pendidikan, tetapi juga tentang cinta, kehilangan, dan ketangguhan jiwa manusia dalam menghadapi berbagai rintangan hidup. saya menutup lembar terakhir buku ini dengan perasaan campur aduk. saya menghela nafas panjang. memberikan jeda sejenak pada pikiran dan perasaan saya atas apa yang baru saja saya selesaikan. rasanya hampa sekali.

Tema dan Topik: Novel ini mengeksplorasi tema-tema seperti perubahan sosial, dampak perang, perjuangan pendidikan, dan kekuatan hubungan manusia. Penulis menggunakan karakter-karakter anak-anak dan perkembangan mereka dari masa kecil hingga dewasa untuk menggambarkan bagaimana peristiwa besar dalam sejarah Jepang mempengaruhi kehidupan individu dan komunitas kecil.

Tsuboi menghadirkan cerita dengan narasi yang mengalir puitis dan menyentuh hati. Setiap kata yang dirangkai terasa begitu hidup, membawa pembaca seolah-olah ikut merasakan setiap momen suka dan duka yang dialami oleh Oishi dan murid-muridnya. Penggambaran desa nelayan yang sederhana dan indah, serta interaksi hangat antara Oishi dan anak-anak didiknya, menghadirkan atmosfer pedesaan yang menenangkan dan penuh makna.

Di balik keindahan alam dan kisah inspiratif tentang dunia pendidikan, Dua Belas Pasang Mata juga mengangkat tema yang kelam: perang dan kehilangan. Kekejaman perang Dunia II perlahan-lahan mulai merayap masuk ke pulau kecil yang damai, menelan korban jiwa dan meninggalkan luka mendalam bagi Oishi dan murid-muridnya. Tsuboi tidak menggambarkan kengerian perang secara gamblang, namun efeknya terasa begitu nyata melalui perubahan sikap dan perilaku para tokoh.

Karakter Utama:

  • Hisako ÅŒishi: Guru muda yang idealis dan penuh dedikasi. Melalui mata dan pengalaman Hisako, pembaca bisa melihat perkembangan murid-muridnya serta perubahan yang terjadi di masyarakat Jepang.
  • Murid-Murid: Dua belas murid yang memiliki beragam latar belakang dan karakteristik, mewakili berbagai aspek kehidupan di desa tersebut. Setiap murid memiliki cerita unik yang memberikan kedalaman dan kekayaan pada plot keseluruhan.

Gaya Penulisan: Sakae Tsuboi menulis dengan gaya yang sederhana namun penuh emosi. Penulis menggunakan bahasa yang mudah dipahami dan deskriptif, membuat pembaca bisa merasakan atmosfer desa Shodoshima dan perkembangan karakter-karakternya dengan jelas. Narasi yang disajikan dengan sudut pandang pihak ketiga memungkinkan penulis untuk menggambarkan perasaan dan pikiran setiap karakter dengan mendalam.

Analisis: "Twenty-Four Eyes" adalah sebuah karya yang mengharukan dan memberikan wawasan tentang sejarah dan budaya Jepang. Melalui karakter Hisako ÅŒishi, penulis menggambarkan dedikasi seorang guru yang berusaha membuat perbedaan dalam kehidupan murid-muridnya meskipun menghadapi banyak tantangan. Novel ini juga menggambarkan bagaimana peristiwa besar seperti perang bisa mempengaruhi kehidupan individu secara mendalam, mengubah takdir dan impian mereka.

Salah satu kekuatan utama novel ini adalah kemampuannya untuk menyeimbangkan antara cerita individu dan konteks sejarah yang lebih luas. Pembaca dapat merasakan ikatan emosional dengan karakter-karakter di dalamnya, sambil belajar tentang kondisi sosial dan politik Jepang pada masa itu.

Kesimpulan: "Twenty-Four Eyes" adalah novel yang memikat dan menyentuh, menawarkan perspektif yang unik tentang kehidupan di Jepang pada paruh pertama abad ke-20. Melalui narasi yang kuat dan karakter yang mendalam, Sakae Tsuboi berhasil menyampaikan pesan tentang pentingnya pendidikan, hubungan antar manusia, dan dampak perubahan sosial. Bagi mereka yang tertarik pada fiksi historis dan cerita yang kaya akan emosi, "Twenty-Four Eyes" adalah bacaan yang sangat direkomendasikan.

 

Judul : The Book of Lost Things (Kitab Tentang yang Telah Hilang) Penulis : John Connolly Alih Bahassa : Tanti Lesmana\ Penerbit : Gra...


Judul : The Book of Lost Things (Kitab Tentang yang Telah Hilang)

Penulis : John Connolly

Alih Bahassa : Tanti Lesmana\

Penerbit : Gramedia Pustaka Utama

Terbit : Cetakan keempat, April 2010

Tebal : 472 halaman

ISBN : 978-979-22-3879-2

Genre: Fantasi, Dewasa Muda, Thriller

Tema: Kesedihan, Kehilangan, Menghadapi Kenyataan, Mempertahankan Masa Kecil, Imajinasi, Kedewasaan


 

"Kadang-kadang sebuah cerita sepertinya memaparkan satu hal, tapi sebenarnya intinya tentang hal yang sama sekali lain. Ada makna tersembunyi di dalamnya, dan makna inilah yang mesti dipancing keluar." (Hal.47)"


Kitab Tentang yang Telah Hilang" (The Book of Lost Things) karya John Connolly menghadirkan esensi yang mendalam tentang perjalanan emosional dan pertumbuhan karakter tentang seorang anak bernama David. Cerita ini tidak hanya sebuah petualangan fantastis, tetapi juga sebuah perjalanan pribadi yang melibatkan pengalaman kehilangan, keberanian, dan penerimaan.


Pertama-tama, novel ini mengeksplorasi tema kehilangan dan kesedihan. David, protagonis utama, kehilangan ibunya dan harus berhadapan dengan perasaan kekosongan dan kehilangan yang dalam. Pengalaman ini menjadi titik awal perjalanan emosionalnya, yang membawanya ke dunia fantasi yang menguji keberanian dan ketabahannya.


David, yang tersesat ke sebuah negeri di mana Snow White, Putri Tidur, dan si Tudung Merah bukanlah seperti yang kita kenal dalam buku-buku cerita. Negeri ini diperintah oleh seorang raja yang menyimpan rahasia-rahasianya dalam sebuah kitab misterius: Kitab Tentang Yang Telah Hilang.


Saya cukup kagum, bagaimana si penulis mengungkap sisi gelap dari dongen-dongen familiar yang sering kita dengar. Gadis si Tudung Merah dan serigala misalnya, ternyata dibalik kisah tentang usaha penculikan gadis itu,  ada rahasia yang lebih gelap yang Chonolly ungkap. Si Gadis Bertudung merah ternyata jatuh cinta pada serigala yang coba menerkamnya, mereka kemudian melahirkan keturunan yang kita kenal sebagai manusia serigala. Cikal bakal dari semua kisah tentang sejarah manusia serigala berasal dari sini. Pun dengan Snow White dan kurcaci. Siapa sangka Snow White gadis yang kita kenal itu ternyata memiliki kepribadian yang menyebalkan. Dia menampar pangeran yang membangunkannya dari tidurnya lalu kemudian memperbudak kurcaci yang merawatnya selama ini. Sebuah kisah ironi yang merontokkan imajinasi masa kecil kita tentang dongen-dongen indah puteri dan pangeran.


Buku ini, senyatanya memang  Dongeng yang diperuntukkan bagi orang dewasa, terutama yang masih ingat saat-saat ketika masa kanak-kanak mulai berlalu dan jalan menuju kedewasaan telah terbentang.


Melalui perjalanan David di dunia fantasi yang gelap dan penuh misteri, pembaca disajikan dengan tema pertumbuhan dan transformasi. David harus menghadapi berbagai rintangan dan ujian, dan melalui pengalaman tersebut, dia belajar tentang keberanian, kepercayaan diri, dan kekuatan untuk menghadapi ketakutan dan ketidakpastian.

Esensi cerita juga terletak pada cara Connolly menggabungkan elemen-elemen dongeng klasik dengan narasi modern yang kompleks. Dia tidak hanya menghadirkan karakter-karakter dongeng yang akrab, tetapi juga memberikan interpretasi baru yang memperkaya cerita. Hal ini menciptakan pengalaman membaca yang mendalam dan memikat, di mana pembaca terlibat dalam dunia fantasi yang penuh dengan makna dan pelajaran moral.


Puncaknya, novel ini menawarkan pesan tentang penerimaan diri dan penerimaan terhadap perubahan. David belajar untuk menerima kehilangan yang dia alami dan untuk menghadapi masa depan dengan keberanian dan keyakinan. Melalui perjalanan ini, pembaca juga diingatkan akan kekuatan imajinasi dan kemampuan kita untuk menemukan keajaiban di dunia di sekitar kita.


Dengan demikian, esensi cerita "Kitab Tentang yang Hilang" tidak hanya tentang petualangan fantastis, tetapi juga tentang pertumbuhan pribadi, penerimaan, dan keajaiban yang ada di dalam diri kita sendiri.

4 bintang untuk buku ini