Beberapa hari terakhir rasa-rasanya cuaca semakin dingin, konon posisi matahari dan bumi saat ini adalah jarak terjauh yang pernah ada. Feno...

Menanti di Ruang Tunggu



Beberapa hari terakhir rasa-rasanya cuaca semakin dingin, konon posisi matahari dan bumi saat ini adalah jarak terjauh yang pernah ada. Fenomena ini para Ilmuan menyebutnya dengan istilah Aphelion. Benar atau tidaknya saya sendiri kurang faham.  


Jika berbicara tentang jarak yang terpikir di benakku justru jarak atara hidup dan mati. Saat ini jarak itu terasa begitu tipis, hanya seperti dipisahkan selaput tipis yang begitu gampang diseberangi. Dan tetiba kita berada diseberang dunia lain itu. Dunia kehampaan, dunia kematian.


Berita duka bertebaran di media sosial. Setiap hari kabar duka itu berdatangan tak henti-henti. Karib kerabat, sanak saudara, orang-orang yang kita kenal sepintas lalu maupun mereka yang begitu akrab, tetiba kabar dukanya datang menghenyakkan batin. Kita tertegung, merenungkan antrian kita pada nomor urut ke berapa. Bukankah sejatinya kita juga sedang menanti di ruang tunggu yang sama.


Dunia sedang sakit, sedang dilanda pandemi yang sepertinya tidak ada titik terangnya. Manusia terbelah, segolongan mempercayai pandemi ini nyata segolongan lagi menganggapnya hanya rekayasa demi kepentingan korporasi yang lebih besar. Masyarakat merasakan dampak yang luar biasa dari pandemi ini, sementara pemerintah mengeluarkan ke(tidak)bijakan yang ugal-ugalan. Sebentar-sebentar istilah baru dikeluarkan sebentar-sebentar larangan ini itu di terbitkan. Rasa-rasanya tidak ada solusi yang lebih praktis sementara waktu demi waktu korban berjatuhan semakin banyak. Masyarakat justru diminta goyang ubur-ubur atau menggunakan kalung penangkal anti corona itu.


Anehnya saya belum menemukan para pembuat kebijakan ugal-ugalan itu justru menjadi korban, saya belum mendengar kabar duka dari mereka, padahal saya sedang menanti-nanti kabar-kabar itu. Bukan karena apa, cuman barangkali kebijakan yang lebih baik, yang lebih bijaksana untuk rakyat bisa dikeluarkan setelah mereka sendiri mengalami nasib yang sama.  Jangan sampai air mata yang mereka tumpahkan hanya karena melihat rakyatnya menderita, bukan air mata keran mereka juga terdampak penderitaan yang sama.


Atau barangkali pandemi ini memang pintar menyasar golongan tertentu. Golongan yang tidak bisa memiliki akses untuk mendapat perawat terbaik di rumah sakit. Golongan yang tidak memiliki relasi yang bisa memberinya dukungan untuk mendapatkan penanganan terbaik.  Ah sudahlah percuma juga memikirkan para pejabat itu, lebih baik kembali rebahan. Menikmati segelas teh madu dan menyelesaikan novel tebalku ini.   


Makassar, 6 Juli 2021

0 komentar: