Gejala awal hiportemia adalah tubuh akan berusaha menghasilkan panas dengan cara menggigil, jika tidak berhasil, sirkulasi darah akan m...

Banyuwangi Part III: Misteri Blue Fire Kawah Ijen


Gejala awal hiportemia adalah tubuh akan berusaha menghasilkan panas dengan cara menggigil, jika tidak berhasil, sirkulasi darah akan menurun secara ekstrem metabolisme tubuh akan menjadi melambat. kau sekarat tanpa kau sadari, pada tahap akhir kamu hanya bisa bernafas tiap dua kali semenit, kamu berada dalam keadaan mati suri. Saya menggeliat kedinginan di puncak Gunung Ijen. Jaket tipisku tak mampu menghalau udara dingin yang menusuk-nusuk. Kecerobohanku berbuah penyesalan. Jaket tebal yang seharusnya kubawa serta, tertinggal di rumah hanya karena alasan fleksibilitasi. Saya memang akan langsung menuju Mataram setelah dari sini. Pertimbangan itulah membuatku harus mengemas barang seefisien dan seringkas mungkin.




Suhu dingin pegunungan ini membuatku hampir hipotermia, beruntung dipuncak saya bertemu dengan beberapa pendaki lokal yang sedang membuat api unggung. Saya dipersilahkan bergabung menghangatkan diri. Rasa-rasanya saya ingin membakar diri diatas perapian itu saking dinginnya.
Kawah ijen merupakan destinasi utama yang ingin kudatangi di Banyuwangi. Perkenalanku pertama kali dengan ijen pada akhir 2013 lalu, dalam penyebrangan lintas pulau, Banyuwangi-Bali. Saya melihat Gunung Ijen menjulang tinggi dari atas kapal penyebrangan yang menyebrangkan kami ke pulau dewata. Seseorang di  kapal penyeberangan itu bercerita, konon di puncak ijen itu ada api yang berwarna biru yang begitu indah, mitosnya api itu tidak bisa menapakkan dirinya pada sembarang orang.  Sejak hari itu saya terus menerus bermimpi untuk bisa melihat dari dekat blue fire yang konon hanya ada dua di dunia itu. Di kawah ijen dan di Islandia.

Pendakian di kawah ijen bermula di pos Paltidung,. Pintu gerbang pendakian baru dibuka pada pukul 01.00 dini hari, dan akan ditutup menjelang siang hari, lewat dari jam itu, jangan harap pengelola kawasan wisata ini akan mengijinkan kita untuk mendaki. Pendakian hari ini tidak terlalu ramai, mungkin karena bukan musim liburan. Pendaki justru di dominasi oleh wisatwan asing. Sekolompok turis dari Singapur tampak begitu bersemangat, juga sepasang manula dari Spanyol yang datang hanya berdua tampa guide. Keluarga kecil dari Jerman dengan anak lelakinya yang belum berumur lima tahun juga terlihat bersemangat. Selain wisatawan asing tempat ini juga diramaikan dengan penambang belerang dan penjajah jasa ojek troli. Kalian jangan bayangkan ojek ini sama seperti ojek-ojek yang kalian kenal pada umumnya. Ojek ini seratus persen menggunakan tenaga manusia bukan tenaga mesin. Jadi, troli yang seharusnya digunakan untuk mengangkut belerang dari puncak gunung dimodifikasi sedemikian rupa agar bisa mengangkut manusia. Satu atau dua manusia bisa diangkut sekali jalan. tarifnya tergantung jarak. Dari pos satu titik awal pendakian, tarif ditawarkan sekitar Rp800.000 untuk bolak balik perjalanan. Tarif akan terus berkurang tergantung jauh dan dekatnya puncak ijen.


Saya miris melihat adegan ini. Ini bukan jasa ojek menurutku, ini jasa perbudakan. Perbudakan dengan cara yang berbeda.  Dikotomi memang, orang-orang berduit mengeluarkan beberapa lembar rupiah untuk memudahkan menikmati tempat ini, berfoto-foto, pamer di medsos hanya untuk beberapa like dan komen di Instagram. Disisi sebaliknya, penjajah jasa ojek harus bejibaku, bermandikan keringat mengendalikan troli di jalan-jalan pendakiang yang curam, untuk beberapa lembar rupiah agar asap dapur tetap bisa mengepul, agar anak-anak mereka masih bisa tetap menikmati bangku sekolah. kehidupan selalu punya dua sisi



Untuk mencapai puncak kawah setidaknya dibutuhkan waktu normal 2 sampai 4 jam perjalanan, dengan jalur tracking menanjak tampa jeda. Jalur pendakian terbilang lebar dengan bebatuan, jalan berdebu dan pepohonan rapat khas vegetasi hutan di sepanjang jalannya.

Tantangan pertama yang kuhadapi adalah perjalanan dari tempat penginapan ke pintu gerbang Gunung Ijen, dari stasiun Karangasem kita harus berangkat dini hari. Saya memacu kendaraanku pukul 01 dini hari, menuju posko penjaga taman nasional gunung ijen. Peralanan dari stasiun karang asem ke titik awal pendakian kurang lebih satu jam lamanya. Perjalan ke pos platidung ini tidak bisa dibilang mudah. Motor matik yang kugunakan berkali kali harus ku dorong, mengingat jalan yang dilewati mendaki dan berkelok kelok.

Teman seperjalananku sudah jauh meninggalkanku. Bayangkan kau mendorong motor di pendakian dini hari ditengah hutan dan tak ada sesiapa. Bahkan sampai sekarang kalau aku mengigatnyapun membuat bulu kudukku merinding. Saya mengumpat berkali-kali dalam hati. Teman seperjalananku meninggalkanku begitu saja. Resiko backpacker sendiri kadang memang setragis ini. Kau tak boleh berharap pada siapapun, termasuk teman seperjalanan yang baru kau temui.  Satu-satunya yang bisa kau harapkan adalah dirimu sendiri. Beruntung tak lama kemudian pos platidung tampak terlihat dari kejahuan.  Orang-orang sudah sedari tadi memulai pendakian, mengingat blue fire hanya bisa dilihat pada jam-jam tertentu.

Saya berkeliling mencari teman perjalananku tadi, kutemukan dia menantiku di dekat pintu gerbang utama. Sebelum mendaki kuputuskan untuk mengisi perut terlebih dahulu. Di kawasan ini tak susah untuk menemukan warung yang masih terbuka hingga dini hari. Saya menikmati segelas pop mie di warung persis didepan pintu gerbang utama, juga segelas kopi jahe hangat dan membeli sebotol besar air minum untuk kubawa serta ke puncak.

Setelah merasa siap, kami mulai mendaki dari pos Platidung, tak lupa membayar biaya registrasi terlebih dahulu. Sepanjang pengalaman saya, 30 menit pertama pendakian adalah waktu-waktu kritis, tubuh kita mengalami perubahan metabolism secara drastis. Suhu dingin pegunungan turut mempengaruhi ketahanan tubuh kita. Itulah mengapa pendakian ke gunung itu bukan perkara sederhana, bukan perkara kau bisa memenuhi feed instagrammu dengan berbagai foto kece. Pendakian ke gunung itu bisa kau bayar dengan nyawamu. Saya terbayang-bayang peristiwa dua tahun lalu, sesorang pendaki asal Bali meninggal di Puncak Ijen. Di usianya yang masih sangat belia.
Apalagi persiapanku mendaki tidak cukup baik, mengingat perjalanan ini begitu tiba-tiba. Berkali-kali aku harus berhenti menenangkan diri, membiarkan tubuhku bisa beradaptasi dengan baik. Teman seperjalananku entah dimana. Nyatanya kami memang tidak cukup akrab karena baru saja dipertemukan sore tadi. Mungkin saya meninggalkannya terlalu jauh.

Pendakian menuju puncak kawah ijen terus menerus menanjak, beruntung di pertangahan jalan kita bisa berehat sejenak. Terdapat warung yang menyediakan anekan minuman hangat dan mie instan yang bisa kembali menyuplai tenaga. Juga terdapat toilet dengan fasilitasnya yang lumayan memadai. Saya memutuskan kembali berhenti sejenak, menikmati segelas wedan jahe hangat. Kembali mengumpulkan tenaga dan semangat.  Beberapa tahun yang lalu saya telah memutuskan untuk tidak lagi melakukan pendakian-pendakian semacam ini namun kerinduanku dan rasa penasarannya dengan blue fire itu membuatku melanggar janjiku. Dengan kondisi yang serba terbatas ini, saya memaksakan diri menggapai puncak ijen

Setiap orang punya alasan masing-masing, kenapa harus mendaki gunung ? atau kenapa memilih bepergian sendiri atau naik gunung sendiri. Aku juga menyimpan alasanku sendiri. Perjalan-perjalanan sendiri seperti ini semacam endropin tambahan buat tubuhku. Memberiku jeda sejenak dari rutinitas kerjaan atau beban masalah yang kadang tak ada habisnya. Perjalanan sendiri memberimu banyak space untuk merenung. Memaknai ulang apa-apa yang telah terjadi dengan hidupmu.

Saya tak ditakdirkan bertemu dengan api abadi itu, si blue fire yang mengagumkan. Api Biru yang hanya ada dua di dunia. Kecewa. Pendakian selalu mengajarkan banyak hal, termasuk kegagalan. Nyatanya tidak semua hal yang kita inginkan bisa kita dapatkan, seberapa kuat pun kita terus menerus mencoba. Manusia selalu dibatasi garis batas. Orang-orang menyebutnya “takdir”. Mungkin memang banyak hal dalam hidup ini harus berlalu begitu saja. Mungkin memang kita harus lebih banyak belajar untuk kecewa agar kita bisa berdamai dengan banyak hal yang tidak sejalan dengan hati kita.
Setelah pendakian ini, saya merasa tak lagi memiliki minat untuk mendaki ke gunung manapun di Indonesia, tidak Semeru yang puncaknya dulu menolakku untuk kegapai atau  Rinjani yang telah menolakku dua kali, bahkan ketika saya telah berdiri didepan pintu gerbangnya.

Perjalananku berikutnya mungkin akan ku fokuskan pada tempat-tempat menarik di seluruh wilayah Indonesia, saya hanya akan berkeliling dari provinsi ke provinsi, kota ke kota bahkan desa ke desa, saya berjanji akan menginjakkan kaki di lebih banyak tempat di negeri ini. Melihat berbagai macam hal yang sebelumnya belum pernah kulihat, tapi maaf untuk mendaki gunung, sudah kuucapkan terimakasih dan Assalamualaikum.   





Bersambung

0 komentar: