Judul : The Book of Lost Things (Kitab Tentang yang Telah Hilang) Penulis : John Connolly Alih Bahassa : Tanti Lesmana\ Penerbit : Gra...


Judul : The Book of Lost Things (Kitab Tentang yang Telah Hilang)

Penulis : John Connolly

Alih Bahassa : Tanti Lesmana\

Penerbit : Gramedia Pustaka Utama

Terbit : Cetakan keempat, April 2010

Tebal : 472 halaman

ISBN : 978-979-22-3879-2

Genre: Fantasi, Dewasa Muda, Thriller

Tema: Kesedihan, Kehilangan, Menghadapi Kenyataan, Mempertahankan Masa Kecil, Imajinasi, Kedewasaan


 

"Kadang-kadang sebuah cerita sepertinya memaparkan satu hal, tapi sebenarnya intinya tentang hal yang sama sekali lain. Ada makna tersembunyi di dalamnya, dan makna inilah yang mesti dipancing keluar." (Hal.47)"


Kitab Tentang yang Telah Hilang" (The Book of Lost Things) karya John Connolly menghadirkan esensi yang mendalam tentang perjalanan emosional dan pertumbuhan karakter tentang seorang anak bernama David. Cerita ini tidak hanya sebuah petualangan fantastis, tetapi juga sebuah perjalanan pribadi yang melibatkan pengalaman kehilangan, keberanian, dan penerimaan.


Pertama-tama, novel ini mengeksplorasi tema kehilangan dan kesedihan. David, protagonis utama, kehilangan ibunya dan harus berhadapan dengan perasaan kekosongan dan kehilangan yang dalam. Pengalaman ini menjadi titik awal perjalanan emosionalnya, yang membawanya ke dunia fantasi yang menguji keberanian dan ketabahannya.


David, yang tersesat ke sebuah negeri di mana Snow White, Putri Tidur, dan si Tudung Merah bukanlah seperti yang kita kenal dalam buku-buku cerita. Negeri ini diperintah oleh seorang raja yang menyimpan rahasia-rahasianya dalam sebuah kitab misterius: Kitab Tentang Yang Telah Hilang.


Saya cukup kagum, bagaimana si penulis mengungkap sisi gelap dari dongen-dongen familiar yang sering kita dengar. Gadis si Tudung Merah dan serigala misalnya, ternyata dibalik kisah tentang usaha penculikan gadis itu,  ada rahasia yang lebih gelap yang Chonolly ungkap. Si Gadis Bertudung merah ternyata jatuh cinta pada serigala yang coba menerkamnya, mereka kemudian melahirkan keturunan yang kita kenal sebagai manusia serigala. Cikal bakal dari semua kisah tentang sejarah manusia serigala berasal dari sini. Pun dengan Snow White dan kurcaci. Siapa sangka Snow White gadis yang kita kenal itu ternyata memiliki kepribadian yang menyebalkan. Dia menampar pangeran yang membangunkannya dari tidurnya lalu kemudian memperbudak kurcaci yang merawatnya selama ini. Sebuah kisah ironi yang merontokkan imajinasi masa kecil kita tentang dongen-dongen indah puteri dan pangeran.


Buku ini, senyatanya memang  Dongeng yang diperuntukkan bagi orang dewasa, terutama yang masih ingat saat-saat ketika masa kanak-kanak mulai berlalu dan jalan menuju kedewasaan telah terbentang.


Melalui perjalanan David di dunia fantasi yang gelap dan penuh misteri, pembaca disajikan dengan tema pertumbuhan dan transformasi. David harus menghadapi berbagai rintangan dan ujian, dan melalui pengalaman tersebut, dia belajar tentang keberanian, kepercayaan diri, dan kekuatan untuk menghadapi ketakutan dan ketidakpastian.

Esensi cerita juga terletak pada cara Connolly menggabungkan elemen-elemen dongeng klasik dengan narasi modern yang kompleks. Dia tidak hanya menghadirkan karakter-karakter dongeng yang akrab, tetapi juga memberikan interpretasi baru yang memperkaya cerita. Hal ini menciptakan pengalaman membaca yang mendalam dan memikat, di mana pembaca terlibat dalam dunia fantasi yang penuh dengan makna dan pelajaran moral.


Puncaknya, novel ini menawarkan pesan tentang penerimaan diri dan penerimaan terhadap perubahan. David belajar untuk menerima kehilangan yang dia alami dan untuk menghadapi masa depan dengan keberanian dan keyakinan. Melalui perjalanan ini, pembaca juga diingatkan akan kekuatan imajinasi dan kemampuan kita untuk menemukan keajaiban di dunia di sekitar kita.


Dengan demikian, esensi cerita "Kitab Tentang yang Hilang" tidak hanya tentang petualangan fantastis, tetapi juga tentang pertumbuhan pribadi, penerimaan, dan keajaiban yang ada di dalam diri kita sendiri.

4 bintang untuk buku ini

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 


  “ Ini adalah kisah indah dan menyentuh hati sehingga kita pikir butuh Mitch Albom untuk menuliskannya. Tetapi, Albom lebih dari seorang pe...

 



Ini adalah kisah indah dan menyentuh hati sehingga kita pikir butuh Mitch Albom untuk menuliskannya. Tetapi, Albom lebih dari seorang penulis karena kisah ini adalah kisah hatinya sendiri, yang hancur karena kedatangan yang mengejutkan dan kepergian yang menyiksa dari seorang gadis kecil Haiti yang memesona bernama Chika---yang menjadi putri yang berharga bagi ia dan istrinya.
Ini adalah kisah kehidupannya sendiri, yang ia satukan kembali dalam buku ini.”
—Melissa Fay Greene, penulis There Is No Me Without You


Saya menutup lembaran terakhir buku ini dengan dada penuh sesak. Meski saya sudah tau ending buku ini akan seperti apa, namun saya hampir-hampir tak bisa membendung air mataku. Mr. Mitch dalam lembaran prolog buku ini pun bahkan sudah menjelaskan dengan gamblang, Chika gadis kecil itu, hanya bisa bertahan sampai di usianya yang ke 7. Kanker ganas di otaknya tak bisa dikalahkan. Berbagai usaha telah di upayakan, namun takdir tak pernah datang terlambat.


Mitch Albom selalu mampu meramu kematian menjadi sebuah pelajaran yang berharga, seperti halnya buku-buku terdahulunya Thursday With Morrie misalnya, yang juga dalam buku ini beberapa kali disinggung. Buku tentang memoar Prof Morrie di akhir-akhir hidupnya, dibukukan menjadi narasi yang sangat menyentuh sebuah kisah penuh filosofi, bagaimana pertemuan yang dilaksanakan di tiap selasa itu menjadi pelajaran yang berharga dan memberikan inspirasi kepada banyak orang. Pun buku lainnya dengan gendre yang berbeda yang menurutku sama bagusnya “for one more day” kisah tentang Charley Chik Benetto  yang diberi kesempatan untuk kembali bertemu Ibunya setelah bertahun-tahun yang lalu meninggalkannya dalam sebuah kematian yang menyedihkan. Buku yang berkali-kali kubaca dan tak pernah membuatku bosan.


Berbeda dari dua buku sebelumnya yang membahas mengenai kematian dari sudut pandang yang lebih positif, buku ini “Finding Chika” justru merupakan memoar pribadi Mr. Mitch menghadapi hari-hari terakhir dan segala upaya yang dia dan istrinya telah lakukan untuk anak angkatnya “Chika” gadis kecil yang diadopsi nya dari Haiti.

 

Finding Chika: A Little Girl, an Earthquake, and the Making of a Family oleh Mitch Albom bukanlah sekadar memoar biasa. Ia adalah kisah nyata yang menusuk kalbu, merajut benang antara kesedihan dan harapan, tentang seorang gadis kecil bernama Chika, gempa bumi dahsyat di Haiti, dan perjalanan seorang pria untuk menemukannya serta membangun keluarga yang tak terduga


 Chika menderita tumor otak, usianya di vonis hanya bisa bertahan tak lebih dari 4 bulan lagi. Apakah kemudian Mr. Mitch menyerah dan berpasrah pada vonis dokter ? Buku ini, mengisahkan segala upaya yang dilakukan oleh Mich Albom dan istrinya Mrs. Jennie untuk membuka semua kemungkinan yang bisa diberika kepada Chika. Salah satu ungkapan yang begitu menyentuh yang diungkapkan Mr. Mitch “Bagi Dokter, Chika mungkin hanya satu dari sekian pasien yang ditanganinya, sedangkan untuk kami, Chika adalah satu-satunya yang kami miliki. Saya terpekur lama setelah membaca bagian itu. Buku ini berhasil membuatku sebak berkali-kali, saya membayangkan Mr. Mitch, menuliskan semua memoar ini dengan linangan air mata. Buku ini saya rasa menjadi master piece dari semua buku Mitch Albom


 Finding Chika" adalah bacaan yang emosional, inspiratif, dan membuka wawasan. Ia mengingatkan kita tentang kekuatan cinta, pentingnya keluarga (dalam bentuk apapun), dan kemampuan manusia untuk menemukan harapan di tengah kesulitan. Untuk siapa pun yang mencari kisah nyata yang mengharukan dan penuh makna, buku ini tak boleh dilewatkan.


 Buku ini melampaui sekadar pengalaman personal Mr. Mitch. Ia mengangkat isu kemanusiaan pasca bencana, perjuangan meraih akses kesehatan, dan kompleksitas adopsi internasional. Melalui Chika, Albom mengajak pembaca melihat Haiti bukan sebagai statistik tragedi, melainkan sebagai negeri dengan semangat, harapan, dan budaya yang kaya.


"Ada berbagai wujud keegoisan di dunia ini, tetapi yang paling egois adalah menunda, sebab tidak seorang pun di antara kita yang tahu berapa banyak waktu yang masih tersisa, dan berasumsi bahwa kita punya lebih banyak waktu sama saja seperti menentang Tuhan." Mitch Albom

 

 

  Judul: Hidup Damai Tanpa Berpikir Berlebihan Penulis: Tsuneko Nakamura, Hiromi Okuda Penerbit: BPK Penabur Tahun Terbit: 2021 Tebal: 192 h...

 




Judul: Hidup Damai Tanpa Berpikir Berlebihan

Penulis: Tsuneko Nakamura, Hiromi Okuda
Penerbit: BPK Penabur
Tahun Terbit: 2021
Tebal: 192 halaman
Genre: Pengembangan Diri


Resensi

Dalam buku "Hidup Damai Tanpa Berpikir Berlebihan", Tsuneko Nakamura, seorang psikiater dengan pengalaman lebih dari 70 tahun, membagikan pengalaman dan pemikirannya tentang bagaimana menjalani hidup yang tenang dan damai, tanpa dihantui oleh pikiran-pikiran negatif. Menurut Nakamura, salah satu penyebab utama stres dan kecemasan adalah overthinking, atau berpikir berlebihan. Ketika kita terlalu sering memikirkan hal-hal yang tidak pasti atau tidak dapat kita kendalikan, kita akan merasa cemas dan khawatir. Hal ini dapat berdampak negatif terhadap kesehatan fisik dan mental kita.

Untuk mengatasi overthinking, Nakamura menyarankan kita untuk belajar menerima kenyataan dan tidak terlalu memaksakan diri. Kita harus menyadari bahwa hidup tidak selalu berjalan sesuai dengan keinginan kita. Ada hal-hal yang tidak dapat kita kendalikan, dan itu adalah hal yang wajar. Selain itu, Nakamura juga menyarankan kita untuk fokus pada hal-hal yang positif dalam hidup kita. Ketika kita bersyukur atas apa yang kita miliki, kita akan merasa lebih bahagia dan damai. Buku ini ditulis dengan bahasa yang sederhana dan mudah dipahami. Nakamura juga menyelipkan kisah-kisah nyata dari pasien-pasiennya untuk memperkaya pemahaman kita tentang permasalahan overthinking dan solusinya.

Secara keseluruhan, buku ini sangat bermanfaat bagi siapa saja yang ingin belajar menjalani hidup yang lebih tenang dan damai. Buku ini dapat membantu kita untuk memahami penyebab overthinking dan cara-cara untuk mengatasinya.



The Midnight Library: Kekuatan Menerima Takdir"  Judul: The Midnight Library Penulis: Matt Haig Genre: Fiksi, Fantasi Penerbit...



The Midnight Library: Kekuatan Menerima Takdir" 


Judul: The Midnight Library

Penulis: Matt Haig

Genre: Fiksi, Fantasi

Penerbit: Gramedia Pustaka Utama Tahun

Terbit: 2021

Tebal: 368 Halaman

 

Begitu selesai membaca buku ini, hal pertama yang terlintas dari pikiranku adalah kutipan ini "Hadiah terbaik adalah apa yang kau miliki, dan takdir terbaik adalah apa yang kau jalani."

 

The Midnight Library adalah novel fiksi fantasi karya Matt Haig yang diterbitkan pada tahun 2020. Novel ini menceritakan kisah Nora Seed, seorang wanita berusia 35 tahun yang merasa hidupnya hampa dan penuh penyesalan. Ia merasa tidak pernah mencapai apa pun yang ia inginkan, dan ia merasa hidupnya sia-sia. Pada suatu malam, Nora memutuskan untuk mengakhiri hidupnya dengan melompat dari atap gedung.

  " TAHUKAH ANDA BAHWA BERBICARA ITU ADA SENINYA? Oh Su Hyan menulis sebuah buku luar biasa tentang bagaimana berbicara yang efektif....

 


"TAHUKAH ANDA BAHWA BERBICARA ITU ADA SENINYA?

Oh Su Hyan menulis sebuah buku luar biasa tentang bagaimana berbicara yang efektif. Buku ini diterbitkan pada tahun 2018. Buku ini membahas. tentang pentingnya komunikasi yang efektif. OH Su Hyang membagi buku ini menjadi lima bab utama yang terdiri dari: Bab 1: Apa itu Seni Berbicara?Bab 2: Kebiasaan Penting untuk Menjadi Pembicara yang Efektif, Bab 3: Teknik Komunikasi yang Efektif, Bab 4: Cara Menjadi Pembicara yang Persuasif dan Bab 5: Cara Menjadi Pembicara yang Negosiator yang Efektif

  Sudah lama sekali rasanya saya tidak menulis sesuatu di blog ini, mungkin sudah setahun lebih. Terakhir saya menulis tentang makna potonga...

 



Sudah lama sekali rasanya saya tidak menulis sesuatu di blog ini, mungkin sudah setahun lebih. Terakhir saya menulis tentang makna potongan lagu “waktu bukan kita yang punya”. Sebuah bait syair yang begitu berkesan menurutku. Tulisan itu rupanya menarik banyak perhatian, dalam waktu singkat view-nya sudah lebih dari ribuan orang. Namun belakangan tulisan itu saya takedown dari blog-ku. Sesuatu hal buruk menimpaku, saya fikir bisa jadi karena tulisan itu diaminkan oleh banyak orang dan pada akhirnya kesedihan-kesedihan yang kuceritakan itu benar-benar menghajarku tanpa ampun.

Desember tahun kemarin saya tiba-tiba terkena panic attack, sebuah peristiwa yang sangat menakutkan yang kualami seumur hidupku. Rasanya seperti waktu hidupmu sebentar lagi akan berakhir. Saya begitu ketakutan, membayangkannya saja membuatku bergidik. Kejadian itu sudah berlalu setahun yang lalu, namun rasa traumanya masih kurasakan sampai saat ini. Kali ini saya tidak ingin bercerita tentang bagaimana kengerian serangan panik itu, atau bagaimana akhirnya saya bisa bertahan sejauh ini. Lain kali saya akan tuliskan lebih detail di sini.

Kali ini saya hanya ingin bercerita tentang potongan film yang kebetulan lewat di beranda Facebookku. Tentang seorang anak yang terjebak di masa lalu. Seorang anak yang tiba-tiba tersesat di dimensi berbeda. Bertemu dengan ayahnya di usia sekolahnya dan menyaksikan bagaimana ayahnya bertumbuh di masa-masa itu, melewati berbagai macam kesedihan yang tak pernah diceritakan kepada anaknya.

Saya tidak tahu bagaimana keseluruhan kisah film ini, saya hanya melihat sedikit adegan itu. Bagian yang menarik saat anak itu berkata “ternyata selama ini saya tidak mengetahui terlalu banyak tentang orang tuaku”

Potongan kalimat itu benar-benar seperti menamparku, saya tiba-tiba merenungi diriku. Bagaimana dengan masa lalu Ayah-Ibuku. Apakah sebenarnya mereka juga melewati masa-masa sulit. Bagaimana mereka melalui masa-masa itu. Barangkali selama ini saya ternyata kurang peduli dengan apa yang telah mereka alami dan lalui. Barangkali yang saya lihat hari ini adalah tumpukan-tumpukan batu yang tersusun dari darah dan air mata mereka di masa lalu.



Saya kembali membayangkan percakapan-percakapan dengan ibuku. Rasa-rasanya Ibuku selama ini hampir tidak pernah menceritakan masa lalunya, yang saya tahu, ibu ditinggal pergi nenekku di usianya yang masih sangat kecil. Ibu tidak pernah bercerita bagaimana dia melewati masa-masa suram itu.

Yang saya tahu selama ini Ibuku wanita kuat, sangat jarang mengeluh. Saya selalu menganggapnya kuat dan selalu baik-baik saja, namun belakangan saya sadar. Ibu menyimpan lukanya sendiri. Ibu memendam semua hal yang dia lalui sendiri. Ibu tak pernah memiliki siapa pun untuk berbagi. Ibu hanya dituntut untuk selalu kuat, untuk selalu hadir di segala kondisi. Terakhir saya melihat ibu menangis saat saya jatuh sakit. Dia memelukku sambil terisak. Selebihnya hampir tak pernah melihat ibu menangis.

Tentang ayahku, saya pun tak banyak tahu bagaimana masa lalunya. Konon dia dibesarkan dengan cara yang sangat keras. Kakekku penjudi dengan temperamen yang buruk. Ayah sering  mendapat perlakuan kasarnya, ditambah lagi ayah harus menjadi tulang punggung keluarga. Harus bekerjakeras menghidupi ibu dan saudara-saudaranya yang lain.

Saya dulu sering membenci ayahku karena temperamennya yang sama buruk. Suaranya yang keras, dan bentakannya yang sering menyakitkan hati. Belakangan semakin tua ayahku mulai berubah. Mulai lebih hangat. Belakangan saya sadar, temperamen ayah terbentuk dari masa lalunya yang sama menyedihkannya. Sayangnya dulu saya tidak pernah menyadari itu semua.

Tiba-tiba saya begitu merindukan ibu bapaku.

Semoga Allah memanjangkan umurnya, memberinya kebahagian dan menyayanginya sebagaimana mereka menyayangiku dimasa kecilku.

                                               






Ilustrasi Desaku di masa lalu

  " Waktu Bukan Kita Yang Punya ..  Kita Hanya Berlari di dalamnya ..  Tak bisa kita genggam ..  Tak Bisa Kita Ulang ..  Semoga Banyak ...


 
" Waktu Bukan Kita Yang Punya .. 
Kita Hanya Berlari di dalamnya .. 
Tak bisa kita genggam .. 
Tak Bisa Kita Ulang .. 
Semoga Banyak Waktu Untuk Kita .. 
" - Pusakata . 2022”


Saya menemukan lirik lagu ini di instagram, sebuah potongan lagu yang dibuat oleh seseorang secara spontan dalam sebuan acara talkshow. Saya benar-benar nangis kejer saat mendengarnya. Saat itu saya benar-benar lagi merasa sendiri, jauh dari siapa-siapa jauh dari orang tua, istri dan anak. Konon lagu ini didedikasikan untuk para ayah yang sedang berjuang untuk keluarganya, untuk setiap momen dan waktu yang terlewatkan dengan anak-anaknya dan untuk setiap pengorbanan mereka yang kadang atau seringkalinya memang tak pernah dianggap berarti.


Beberapa hari ini  saya merasa begitu depresi, mungkin sedang jenuh atau muak dengan tuntutan kerjaan atau tuntutan kehidupan yang seakan tiada habisnya. Saya baru saja meliwati ulangtahunku yang ke sekian puluh tiga. Saya tak ingin menyebut angka pastinya, mengingatnya saja saya merasa begitu muak. Bukannya tak mensykuri melainkan saya hanya saja belum bisa menerima waktu saya yang berharga ternyata telah berlalu begitu cepat. Melesat seperti busur, menguap seperti embun. Saya tak sadar sudah jauh melangkah meninggalkan masa-masa belia saya. Saya berjalan menuju masa tua yang menyedihkan, berjalan menuju kematian.

Akhir-akhi ini saya benar-benar sering baper, terjebak romantika masa lalu. Saya lebih sering kembali membuka foto-foto lama, kembali membaca buku-buku pavorit saya di masa lalu, menonton film-film yang entah telah berapa kali kutamatkan. Saya tidak tahu, perasaan seperti ini entah kenapa sering sekali menyerang di hari hari menjelan ulang tahun saya. Entah karena ketakutan menghadapi masa depan atau belum siap meninggalkan masa lalu yang rumit atau saya hanya sedang mencoba mencari trauma masa lalu yang tak kunjung ketemu.


Saya sadar, saya memiliki luka batin di masa lalu yang sampai saat ini belum bisa kusembuhkan. Berkali-kali berusaha menyembuhkannya namun menemukan akar masalahnya pun sampai saat ini belum bisa kupecahkan. Luka batin yang tertoreh sejak dahulu itu entah apa, apakah perasaan ditinggalkan, perasaan tak diteriman, perasaan kesepiaan, penyesalan atau perasaan seperti apa yang saya sendiri tak tahu pasti. Yang saya tahu, saya hanya sering mendapati diriku terbangun dalam keadaan menangis sejadinya-jadinya, apalagi ketika saya sedang benar-benar sendiri seperit ini.  


Mamuju, 06 November 2022

 

 

  Cries in the Drizzle by Yu Hua     Paperback, 312 pages Published November 18th 2020 by Gramedia Pustaka Utama (first published 1993) Orig...

 

Cries in the Drizzle by Yu Hua

 

 

Paperback, 312 pages

Published November 18th 2020 by Gramedia Pustaka Utama (first published 1993)

Original Title: 细雨中呼

ISBN13: 9786020648262

Edition Language: Indonesian

Setting China

 

 

 Kemiskinan yang Turun Temurun


 Yu Hua selalu mampu menggambarkan ironi dengan baik. Spesialisasinya mungkin memang seperti itu.  Pada novel-novel sebelumnya juga seperti itu, To live atau Chronicle of a Blood Merchant misalnya. Sungguh menarik bagaimana dia menceritakan penderitaan, kesedihan, kemiskinan, kemalangan, kesialan, kematian bahkan kenangan dengan bahasa yang begitu sederhana namun sangat menyakitkan.


Perhatikan bagaimana dia menggambarkan tentang kenangan dalam bukunya kali ini:

“Gambaran Kabur muncul di hadapanku, dan aku seakan bisa melihat gerakan waktu. Dalam bayanganku waktu menyerupai desiran kelabu transfaran, dan segala kejadian mendapatkan tempat di dalam bentangan gelapnya. Kehidupan kita, bagaimanapun lebih mengakar ke waktu daripada tempat, Ladang, jalan sungai, rumah-semua teman kita, yang memiliki tempatnya masing-masing di ranah waktu. Waktu mendorong kita maju atau mundur, dan mengubah semua aspek kita’’


Saya benar-benar menyukai bagaimana Yu hua menyuguhkan konsep dan gagasan tentang kenangan begitu sederhana namun berkesan. Kenangan seperti memiliki dimensi sendiri dan beberapa potongan kehidupan kita tertinggal disana. Manusia tidak pernah bisa lari dari masa lalunya seberapa kuat pun mereka mencoba. Kenangan ibarat sebuah dunia multiverse dimana kehidupan kita yang lain hidup disana. Begitu kira-kira Yu Hua menggambarkan.


Gambarannya tentang kematian tak kalah menyedihkannya. Yu Hua menuliskan bagaimana Su Gualing memaknai kematian adiknya dengan bahasa sederhana namun menyakitkan’


“ketika aku menelusuri jalan panjang kenangan dan melihat Sun Guangming sekali lagi, yang ditinggalkan ketika itu bukan rumah: dia dengan semberono pergi meninggalkan waktu. Begitu dia kehilangan keterikatan dengan waktu, dia menjadi tetap, abadi, sementara kami terus terbawa maju oleh momentumnya. Yang dilihat Sung Guangming adalah waktu yang merenggut orang-orang dan pemandangan disekelilingnya, dan yang kulihat adalah kebenaran yang lain: setelah dikuburkan, jasad akan terbaring diam selamanya, sementara para penguburnya akan melanjutkan kesibukan mereka. Dalam kesunyian maut, kita yang masih berkeliaran bisa melihat pesan yang dikirimkan oleh waktu”


Saya membaca kalimat ini dengan perasaan hampa. Mungkin seperti Sun Gualing saat berjalan kembali ke gerbang selatan menelusuri jejak-jejak masa lalunya yang menyakitkan. Meski novel ini tidak seperti dua novel Yu Hua lainnya yang begitu booming, namun menurutku Novel ini tidak menghilangkan citra Yu Hua sang peramu ironi dan penderitaan. Novel-novelnya memang terkenal seperti itu. penuh duka lara dan nestapa. Bahkan di Criez in The Drizzle penderitaan digambarkan turun temurun dari generasi kakek buyutnya sampai pada si penutur dalam novel ini - Sun Gualing.


Satu-satunya yang tak kusukai dari novel ini adalah plotnya yang loncat ke mana-mana. Tidak ada urutan yang jelas antar setiap peristiwanya. Tiba-tiba kita di masa Sun Gualing dewasa dan lembar berikutnya kita bisa terlempar jauh kebelakang. Mungkin karena novel ini memang di gambarkan dari sudut pandang Sung Gualing dalam melihat dinamika sosial di masyarakat di masa itu. Dia kemudian menceritakan bagaimana kejadian-kejadian  yang bersinggungan dengan dirinya dan orang-orang disekitarnya. Tidak runut tapi benang merah peristiwa demi peristiwa tetap terhubung.


Selain itu saya kehilangan taste Agustinus Wibowo dalam novel ini, dua novelnya yang lain memang diterjemahkan dengan sangat baik oleh AW namun di novel ini penerjemahnya berbeda. Saya benar-benar kehilangan cara bertutur AW dalam menerjemahkan karya-karya Yu Hua. Mungkin karena AW memiliki kesamaan etnis dengan Yu Hua yang membuatnya begitu nyaman membahasakannya kembali dalam kata demi kata dalam bahasa Indonesia.


 Middle child syndrom; Ironi Tentang Anak Tengah


Hal menarik lain dari buku ini adalah karakter tokoh utamanya “Sun Gualing” sang anak tengah yang tak dianggap. Mitos yang berkembang di masyarakat sejauh ini mungkin memang seperti itu. Anak tengah selalu dianggap tak pernah ada. Diabaikan, tidak mendapatkan cukup porsi perhatian dan prioritas dalam keluarga.


Dalam kaca mata pribadi saya yang terlahir sebagai anak sulung, Sung Gualing ini hanya menderita middle child syndrome. Middle child syndrom atau sindrom anak tengah adalah keyakinan bahwa anak tengah dikucilkan atau bahkan diabaikan karena urutan kelahirannya. Menurut banyak orang, beberapa anak mungkin memiliki kepribadian dan karakteristik hubungan tertentu sebagai akibat menjadi anak tengah.


Middle Child Syndrome biasanya muncul karena anak tengah kerap kali tidak diprioritaskan seperti kakaknya atau dimanja seperti adiknya. Alhasil ini yang membuat mereka merasa dikucilkan atau diabaikan. Anak tengah mungkin merasa bahwa tidak ada yang mengerti atau mendengarkan apa yang mereka katakan. Ia juga kerap iri karena kakaknya bisa melakukan hal menyenangkan lebih dulu, sementara semua perhatian di rumah terfokus pada adiknya yang merupakan anak bungsu.


Middle child syndrom inilah yang kemudian membentuk karakter utama Sun Gualing. Pada dasarnya saya sendiri tidak melihat dari sudut mana Sung Gualing ini begitu merasa di abaikan oleh keluarganya. Satu-satunya alasan kuat yang menjadi awal semua pengabaian itu karena Sun Gualing sendiri pada umur enam tahun dia dititipkan kepada keluarga lain yang lebih mapan, dan baru pulang ke rumah orangtuanya enam tahun kemudian karena orang tua angkatnya meninggal. Saya rasa Sun Kuwangtsai ayah dari tokoh utama kita ini bukan tidak menyayangi putra keduanya, melainkan karena kondisi sosialnya saat itu yang dibekap kemiskinan dengan tiga putra yang lahir dengan jarak waktu yang tidak terlalu berjahuaan. Pilihan terbaik yang memang harus di ambil ayahnya adalah menyerahkan putranya ke keluarga yang dianggap bisa memberi masa depan yang lebih baik.


 Nah, kenapa harus anak kedua ?,secara logika tidak ada orang tua yang ingin dipisahkan dengan anak-anaknya, namun dalam kondisi tertentu beberapa pilihan berat memang harus diambil demi kebaikan bersama. Pilihan untuk menyerahkan putera keduanya mungkin dilatari karena anak pertamanya saat itu sudah sedikit lebih dewasa dan lebih bisa membantu permasalahan ekonomi keluarga sementara anak bungsunya masih menyusu jadi pilihan terbaik memang adalah putera keduanya Sung Gualing.


 Penggambaran karakter tokoh utama dalam novel ini sungguh menarik. Didekap derita kurangnya kasih sayangnya dari keluarga, Sun Guanling kemudian mencari perasaan diterima itu di luar sana.  Jalinan rumit persahabatannya dengan beberapa tokoh yang dibangun dalam karakter ini bukannya berakhir bahagia malah berujung nestapa tiada akhir. Benar-benar sungguh novel yang penuh dengan balutan derita.  


 

Tentang Penulis: Yu Hua


Yu Hua (Cina sederhana: 余华 ; Cina tradisional: 余華 ; pinyin: Yú Huá ) adalah seorang penulis Cina yang lahir 3 April 1960 di Hangzhou, provinsi Zhejian. Dia lulus SMA pada masa revolusi kebudayaan dan kemudian bekerja sebagai dokter gigi. Yu Hua telah menerbitkan empat novel, enam kumpulan cerita, dan tiga kumpulan esai. Meski buku pertamanya sempat dilarang terbit di Tiongkok karena terkesan begitu kritis dan satir pada pemerintahan komunis namun tak menyurutkannya untuk menelurkan karya sastra yangluar biasa lainnya. Karyanya telah diterjemahkan lebih 20 bahasa sepererti Prancis, Jerman, Italia, Belanda, Spanyol, Jepang, Korea dan tentunya Indonesia. Pada tahun 2002 Yu Hua menjadi penulis Tiongkok pertama yang memenangkan Penghargaan Yayasan James Joyce yang bergengsi. Novelnya To Live dianugerahi oleh Premio Grinzane Cavour Italia pada tahun 1998. Selain itu To Live dan Chronicle of a Blood Merchant dinobatkan sebagai dua dari sepuluh buku paling berpengaruh dalam dekade terakhir di Tiongkok pada 1990-an oleh Wenhui Bao, surat kabar terbesar di Shanghai. Saat ini Yu Hua tinggal di Beijing.