Judul: Rahasia Salinem Penulis: Briliant Yontega, Wisnu Suryaning Adji Penerbit: Storial.co Tahun Terbit: 2019 Buku ini berk...

Resensi dan Quote dari novel Rahasia Salinem



Judul: Rahasia Salinem
Penulis: Briliant Yontega, Wisnu Suryaning Adji
Penerbit: Storial.co
Tahun Terbit: 2019

Buku ini berkisah tentang rahasia seorang wanita abdi dalem yang mengabdikan hiduypnya untuk cinta yang tak biasa. Buku ini sungguh membuat bulu kudukku merindding saat membacanya, bukan karena menyeramkan, tapi karena kisahnya yang tak biasa. Pertamakali menemukan buku ini di platform @storical secara gratis. Entah pada bab keberapa kuputuskan untuk berhenti membacanya. Saya memilih menunggu versi cetaknya yang katanya akan segera diterbitkan. baru beberapa bulan setelahnya, novel ini akhirnya benar-benar sampai di tanganku dan seperti dugaanku, novel ini mampu memberikan sensasi yang berbeda dibanding novel-novel dengan gendre yang sama yang telah kubaca sebelumnya.

Bagaimana rasanya menjadi seorang “abdi”. Menjadi seseorang yang bukan siapa-siapa. Menjadi pelengkap kisah untuk kehidupan orang lain. Salinem mungkin ditakdirkan untuk hidup seperti itu. garis takdirnya membawanya dari satu frame kehidupan ke frame kehidupan yang lain sayangnya frame kehidupan yang dia jalani justru bukan tentangn kisah hidupnya, dia terjebak dalam frame kehidupan orang lain, ya frame kehidupannya hanya berganti dari majikan ke majikan yang lain.

Buku ini menyayat hati, mungkin karena diambil dari sudut pandang orang kecil seperti Salinem. Salinem dengan segala kesederhanaanya, dengan segala rahasia hidup yang di simpan dan kubur dalam-dalam, dibalik ketegarannya menjalani kehidupan justru menyimpan banyak rahasia yang kemudian justru terungkap satu persatu ketika dia akhirnya meninggal. Seperti kata buku ini, “cerita-cerita kehidupan justru hadir lagi ketika kematian datang” .

Kisah hidup Salinem merentang hampir satu abad lamanya, sejak 1923 hingga 2013, latar ketika cerita ini dimulai, ia bergelut dengan serangkaian peristiwa kelam. Namun, barulah saat menjelang kematiannya, misteri hidup Salinem yang sesungguhnya terkuak. Adalah Tiyo, tokoh utama dalam buku ini yang begitu penasaran untuk menguak kisah hidup Mbah Nem, sosok wanita tua bersahaja yang tadinya dia kira adalah Mbah kandungnya, namun belakangan dia ketahui fakta yang berbeda. Mbah Nem justru hanyalan abdi dalem keluarganya yang mendedikasikan hidupnya untuk merajut keluarga Kakek Nenek Tiyo yang sempat tercerai berai karena kondisi yang begitu sulit di jamannya. Pencarian Tiyo untuk menelusuri siapa Mbah Nem sebenarnya juga menuntunnya pada satu rahasia yang lain. Rahasia kehidupan asmara Mbah Nem dan Rahasi bumbu pecel Mbah Nem yang konon rasanya begitu berbeda dan khas.

Saya sangat merekomendasikan buku ini untuk dijadikan dikoleksi. Sangat cocok dibaca oleh semua kalangan. Banyak petuah dan hikmah yang baik yang bisa dijadikan pelajaran dari buku ini. Tak banyak yang bisa kurensensi dari novel ini, namun meski demikian saya memutuskan merangkum quote-quote menarik yang berhasil kukumpulkan dari berbagai sumber juga beberapa tread seseorang di tweeter. Berikut quotenya:

1.       Hidup punya cara sendiri untuk berhianat pada semua hal yang cuma dikira-kira manusia
2.       setiap langkah adalah kata-kata yang dieja
3.       serangkai kereta berbahan bakar bara melaju menuju suatu tempat lain, membawa mereka pergi berikut harapan-harapan yang menyertai.
4.       Tapi menangis bukan kebiasaan keluarga ini, meskipun ada orang mati.
5.       Mbah Nem bilang air mata itu mahal, harus disayang-sayang. Ah jarang-jarang Mbah Nem berkata sebijak itu. Sebijak-bijaknya, biasa cuma : "WIS MENENGO" (sudah diam saja),(bahasa jawa)
6.       Sebagus-bagusnya Mbah Nem menangis, paling matanya saja yang basah. itupun bukan karna sedih,lebih karena gembira tapi gak bisa ngomongnya.
7.       Hidup adalah perkara sederhana, bisa disimpulkan dengan dua kata " jalani saja".
8.       Semuanya kering, kecuali mata orang-orang sok jagoan menahan air mata, toh tetap saja, nangis juga pada ahirnya.
9.       "YEN AREP NANGIS, YO, NANGISO, TAPI OJO SUWI-SUWI",(bhs jawa) , (jika ingin menangis, menangis saja tapi jangan terlalu lama)
10.   Tapi percayalah, tawa bukanlah teknik yang terlalu manjur untuk menutupi kesedihan.
11.   Pakaian terbaik yang iya punya adalah cerita-cerita yang iya bawa, tersimpan, rapi.
12.   Ah, bisakah ini dihentikan ?, percuma. Waktu bukan hewan penurut. Begitupun air mata.
13.   Kematian menyatukan keluarga lebih jauh, melebihi kelahiran-kelahiran.
14.   Jarak dan waktu sangat piawai membuat lupa. Namun, dalam lintasan yang berbeda-beda, tanah ini menyatukan semua yang terpisah.
15.   Kematian juga terampil mengingatkan manusia pada kematian yang lain.
16.   Kematian punya laku seperti ragi roti, bisa mengembangkan obrolan-oboraln.
17.   Sudah dua tahun ini, Mbah Nem sakit. Kondisinya naik turun macam jungkat-jungkit. Bedanya jungkat-jungkit yang ini bikin berolahraga extra.
18.   Internet adalah dunia lain yang baru, nyaris semua orang hari ini hidup didalamnya. Dan sebagaimana dunia nyata, orang-orang di dunia maya juga memiliki kebutuhan. resikonya adalah waktu seperti menyusut, terasa selalu kurang.
19.   Dalam hitungan minggu panen akan dirayakan. Lalu, wangi sekam terbakar menyebar. Apakah pemakaman juga perayaan ?.
20.   Musim memang berganti, kadang terlalu cepat atau kelewat lambat. Namun, kisah hidup bisa abadi dalam kepala.
21.   Hidup bukan hanya perkara senang-senang, ada juga sakit dan lelahnya perjalanan.
22.   Betapa enaknya jadi anak-anak. Mereka mudah lupa atau bisa jadi, mengingt dengan cara yang berbeda .
23.   Benarlah, selalu ada kisah yang tak tersampaikan. Bukan karna ditutupi, melainkan manusia memang kerap khilaf pada hal-hal kecil, menganggapnya remeh. Kemudian, menyeruak seperti cahaya fajar dipagi buta, kisah-kisah kembali.
24.   Sering cerita-cerita kehidupan hadir kembali, ketika kematian datang.
25.   "Satu-satunya cara untuk keluar dari kesulitan adalah terbiasa hidup sulit"
26.   "Sering, cerita-cerita kehidupan justru hadir lagi ketika kematian datang
27.   Kadang yang tulus juga bisa pamit.
28.   sehati tak menjamin setakdir.
29.   Luka disembuhkan oleh waktu dan orang-orang yg hadir berikutnya
30.   Berharap sewajarnya sebab setiap harapan membawa kemungkinan kecewa.
31.   Hidup punya cara sendiri untuk berkhianat pada semua hal yang cuma dikira-kira manusia
32.   Sesuatu memang selalu terjadi pada waktunya, pada tempat yang semestinya, dan dalam keadaan yang seharusnya
33.   Apapun yg hidup sajikan diatas meja, harus dimakan. Mengeluh adalah racun.

Kumpulan quote ini sebagian besar diambil dari tweet Unpopular opinion aka @WeppeWp


0 komentar:

Harima-Harimau Karya Mochtar Lubis- Paperback, 214 pages Published 1999 by Yayasan Obor Indonesia (first published 1975) Original T...

Resensi Novel Harimau-Harimau


Harima-Harimau
Karya Mochtar Lubis-
Paperback, 214 pages
Published 1999 by Yayasan Obor Indonesia (first published 1975)
Original TitleHarimau! Harimau!
ISBN9794611093
Characters: Buyung, Wak Katok, Pak Haji, Sanip, Sutan...
moresetting: Indonesia
Literary Awards; Penghargaan Yayasan Buku Utama for Fiksi (1975)


Pertamakali membaca buku ini saat itu saya baru kelas 4 Sd. saya belum tahu, novel seperti apa yang saya baca ini, yang saya tahu, novel ini jadi novel yang paling menyeramkan yang saya baca di masa kanak-kanakku dulu. saya ingat persis novel ini kutemukan di perpustakaan sekolahku dan sukses membuat saya bermimpi buruk di malam-malam pertama saya membaca novel ini.
Belakangan kuketahui, jauh setelahnya, novel ini memanglah sebuah maha karya, sebuah karya sastra agung dari penulis hebat yang pernah dimiliki Indonesia. Mochtar Lubis, peraih banyak penghargaan dibidang kesusatraan dan jurnalistik. Novelnya pun telah diterjemahkan ke banyak bahasa, di apresiasi bukan hanya di Indonesia tapi juga di banyak negara.
Hampir 20 tahun kemudian, saya kembali tertarik untuk membaca ulang kisah Buyung dan teman-temannya pera pencari Damar. ketakjuban yang sama kembali kutemukan, sama seperti ketika saya membaca dimasa kecil dulu. bedanya, dahulu saya terlalu terfokus pada teror mencekam yang diciptakan oleh si "nenek" begitu penduduk desa tempat si Buyung menyebut "Harimau". Seekor Harimau tua yang kelaparan memburu sekawanan pencari damar. Satu persatu teman si Buyung akhirnya tewas diterkam Harimau. auuuuuuum., begitulah gambaranku mengenai novel ini di masa lalu.
Namun kini saya melihat novel ini dari sisi yang berbeda. dari sisi dimana kita memang harus melihat dan menempatkan novel ini seperti itu. Novel ini sejatinya berisi banyak hal tentang sisi kehidupan manusia, tentang dosa-dosa, egoisme,ketidak adilan, kesombongan, hati nurani dan tentang bagaimana manusia seharusnya hanya bergantung pada Penguasa Semesta. Harimau buas dalam novel disini hanyalah penggambaran sifat 'binatang buas" yang ada pada diri setiap manusia. dan "untuk mengalahkan harimau diluar sana terlebih dahulu bunuhlah dulu harimau buas di hatimu" begitu salah satu pesan Pak Haji dalam novel ini. novel ini begitu berbobot dengan banyaknya kritik sosial dan nilai-nilai moral yang ditampilkan Mochtar Lubis dalam setiap penggambaran karakter tokohnya.
5 bintang untuk karya yang luar biasa ini.
dan ucapan terimakasih untuk penulisnya yang telah menghadirkan buku yang begitu luar biasa ini

0 komentar:

Duka Palu, Duka Masyarakat Indonesia November tahun 2018 kemarin. Negeri ini berduka. Sulawesi Tengah, dengan ibu kota provins...

Pusat Laut Donggala Pasca Gempa




Duka Palu, Duka Masyarakat Indonesia

November tahun 2018 kemarin. Negeri ini berduka. Sulawesi Tengah, dengan ibu kota provinsinya Palu di hantam gempa dengan skala 7,1 sr. Sebuah goncangan yang cukup kuat yang terasa sampai beratus-ratus kilometer dari pusat gempa. Gempa yang datang menjelang mabrib ini bak mimpi buruk,  menghancurkan banyak bangunan dan merenggut ribuan nyawa.  Bukan hanya itu, berselang beberapa menit setelah gempa, tzunami setinggi  6 meter dengan kecepatan 800 km/jam menerjang Pantai Talise. Menelan korban lebih banyak lagi. Tidak sampai disitu, beberapa saat setelah gempa, juga bencana yang tak kalah menyeramkannya kembali menghantam Palu. Sebuah bencana yang belum pernah dterjadi di daerah manapun di belahan bumi ini. Sebuah bencana yang membuat semua orang bergidik ngeri. Shock.

Likuifaksi. Bencana yang belum pernah didengar dan disaksikan bagaimana bentuknya sebelumnya. Saya tak bisa menggambarkan bagaimana likuifaksi ini terjadi, sebuah tragedi yang menurutku dulu  hanya kubaca di kitab-kitab suci, tentang ummat-ummat yang dibinasakan. Likuifasi menjadi mimpi buruk bagi warga Palu, terutama di Sigi, Petobo dan Balaroa. Bayangkan tiba-tiba tanah yang kau pijak berputar, mencungkir balikkan dan  menelan apapun yang ada di atasnya.
Balaroa, Sigi dan Petobo tadinya adalah daerah padat penduduk. Namun kini tempat itu hilang, di telan tanah, habis tak tersisa. Ada ratusan dan bahkan mungkin ribuan mayat yang juga ikut serta hilang bersama timbunan-timbunan tanah itu. tak banyak yang selamat, menurut paman yang kutemui ditempat ini hanya kurang lebih 400 warga Balaroa yang berhasil selamat. Yang lain hilang ditelan tanah. Saya bergidik ngeri menyaksikan sisa-sisa puin bangunan di atas gundukan tanah setinggi 5 meter ini.
Terlepas dari semua hal menyakitkan yang terjadi di Palu ini, ternyata bencana itu masih menyisakan banyak hal untuk di syukuri. Salah satunya adalah tempat indah yang akan kuceritakan disini. Pusat Laut di Donggala

Pusat Laut Donggala Setelah Gempa
Bocah-bocah kecil berjumplitan, menanti beberapa receh yang dilempar dari mulut goa. 
Lempar koin om, lempar koin om. Begitu teriaknya
Saya tak punya koin jawabku
“uang kertas juga dak papa Om”
Laah, nanti basah. jawabku
Mereka berseru uuuuuu, kecewa.

“Kau tak sekolah” tanyaku
Khusus hari sabtu ternyata mereka lebih sering membolos, wisatawan lebih rame berkunjung hari sabtu dan minggu. Memperebutkan uang koin di dasar goa jauh lebih menarik perhatian mereka di banding harus berusah-susah mengerjakan soal-sao matematika yang rumit. toh masa depan di pesisir ini tak memberi banyak pilihan, jika lelaki diberi pilihan menjadi nelayan atau buruh kasar, maka wanita juga hanya memiliki dua pilhan, menjadi istri nelayan atau menjadi istri buruh harian.

Pusat Laut Donggala memang belum seterkenal tempat wisata lainnya di negeri ini. Saya tak pernah menyangka ada tempat seperti ini di pelosok Sulawesi Tengah. Pusat laut, pusentasi atau sumur laut begitu orang-orang menyebutnya adalah sebuah sinkhole selebar hingga 10 meter  dengan kedalaman mulut gua dan kedalaman air kurang lebih 5 atau 7 meter. Konon kedalaman air bisa berubah-ubah. Jika kondisi laut pasang, permukaan air di dalam sinkhole turun menjadi 5 meter. Namun, bila laut surut, permukaan air di tempat ini justru malah naik ke angka 7 meter. Pusat laut berada di pesisir pantai yang penduduk juga menamainya pantai pusat laut. Saya merasa penamaan ini hanya asal-asalan saja, mengingat di sepanjang garis pantai Sulawesi memang banyak pantai-pantai indah yang belum terjamah dan diberi nama. Jadi begitu tempat ini mulai populer, masyarakat setempat kemudian menamai pantai ini dengan nama pantai pusat laut.

Air di pusat laut ini konon berasal dari pantai disebelahnya, laut Donggala. Diperkirakan terdapat goa yang meghubungkan antara pusentasi ini dengan laut disebelahnya. Namun teori ini sampai sekarang belum bisa dibuktikan kebenarannya. Belum ada penelitian ilmiah yang benar-benar telah meneliti tempat ini. 

Pertamakali menyaksikannya pusentasi ini saya dibuat tercengang, sebuah sumur besar  dengan kejernihan airnya dan gradasi warna hijau dan biru serta riak-riak gelombang dipermukaanya seakan memanggil-manggil untuk segera di lompati. Namun begitu saya melongo kebawa, nyaliku menciut. Semangat yang tadi menggebu-gebu menguap begitu saja. Pijakan untuk melompat terbilang lumayan tinggi. Saya bergidik ngeri. Saya tersenyum kecut mendengan seruan anak-anak kecil yang dengan entangnya melompat berkali-kali dari mulut sumur. Bocah-bocah itu melemparkan diri ke udara. Berjumplitan dengan berbagai gaya, berselang tak lama kemudian, suara dentuman dan percikan air laut mengudara.  Byuuuuuur.

Akses ke tempat ini terbilang mudah, dari Pusat kota Palu, kita harus berkendara ke selatan melewati jalan poros Provinsi Sulawesi Barat. Kita juga akan melewati kabupaten terselatan Provinsi Sulawesi Tengah, kabupaten Donggala. Kabupaten yang juga telah hancur dan luluh lantah karena gempa dan tzunami. Sepanjang jalan, kami disuguhi sisa-sisa reruntuhan bangunan yang masih berserakan di sembarang tempat, aroma tak sedap bahkan masih tercium di pesisir pantai teluk palu, yang menjadi pusat tzunami kala itu.

Jalan-jalan sepanjang kota palu menuju perbatasan sulawesi barat terbilang sudah sangat layak di lalui, mesiki dibeberapa titik masih bolong dan rusak kanan kiri juga reruntuhan bangunan masih berserakan dimana-mana tapi secara keseluruhan akses dari dan ke kota Palu sudah bisa di tempuh dengan kendaraan roda dua dan empat.

Setelah berkendara kurang lebih 1,5 jam perjalanan, sampailah kita ke pertigaan Pusat Laut. Ada plang kecil yang tidak terlalu mencolok yang menunjukkan daerah wisata ini. Sebaiknya bertanyalah pada warga lokal untuk memastikan posisinya. Mengandalkan aplikasi pintar seperti GPS di sini tidak terlalu berarti. Jaringan internet sangat menyedihkan.  Dari pertigaan pusat laut, kita akan melewati jalan berkelok dan sedikit menanjak. Sekitar 2 atau 3 kilometer jauhnya dari jalan utama tadi. Terdapat beberapa lokasi wisata yang juga di dilalui sebelum sampai ke pusat laut. Beberapa pantai indah dengan pasri putihnya yang tak kalah indahnya, yang pasti pantai-pantai itu masih sangat alami dan sepi.

Kita akan disambut pintu gerbang yang tidak terawat, saya bahkan menyangka kami tersasar karena ilalang dan rerumputan yang meinggi di pintu gerbangnya. Tempat ini sungguh tak terawat pikirku. Namun begitu kita memasuki pintu gerbang, pemandangan menyejukkan mulai memanjakan mata. Tempat ini cukup rindang, dengan pepohonan yang menjulang tinggi. Beberapa pondok-pondok juga terlihat berjejer rapi, belakangan kuketahui pondok-pondok itu tadinya penginapan, namun sudah tidak pernah digunakan lagi karena pemerintah daerah tidak lagi menganggarkan biaya pemeliharaan untuk pondok yang telah berumur sepuluh tahun ini.

Tarif sekali masuk disini masih terbilang murah hanya Rp2.500 per orang dengan biaya perkir kendaraan roda empat sebesar Rp10.000,00. Tempat ini telah di kelolah oleh Dinas Parawisata setempat. Sayangnya untuk kebersihan, disini tidak tersedia air bersih yang cukup untuk bebilas. Kita harus merogoh kocek pribadi untuk membeli sejerigen ari bersih yang dihargai 10.000,00. Pengeola pusat laut beralasan disini tak ada sumber air bersih jadi untuk mendapatkan air bersih juga mereka harus beli dari mobil tangki yang datangnya kadang tak tentu.

Puas memandangi pusat laut, kami berpindah ke pantai berpesisir putih di sampingnya. Tempat ini masih sangat alami, bersih dan jernih. Tak hanya menikmati pasir putihnya kami juga memutuskan untuk menyewa “katinting” yang disewakan oleh masyarakat setempat. Mereka membawa kami ke daerah dangkal berpasir putih tak jauh dari pesisir pantai. Tarif sewa katinting ini sangat murah, hanya Rp10.000,00 per kepala. Katinting ini akan membawa kita ke pasir putih ditengah laut yang berjarak kurang lebih 15 menit perjalanan. 

Sesampai di tempat yang dituju.Saya tak sabar untuk segera menceburkan diri, melihat betapa jernihnya dasar laut didepanku. Kita bahkan tak membutuhkan alat snorkle untuk menikmat dasar lautnya. Sayangnya kameraku tidak didukung dengan fasilitas untuk memotret di bawa laut. Saya menceburkan diri beberapa saat. Berhubung karena kami tak membawa perlengkapan apapun dan tidak mepersiapkan cemilan bahkan air putih maka kami hanya bertahan sebentar saja. Rasa penasaran untuk segera mengisi perut dengan Kaledo menjadi alasan utama kami untuk segera buru-buru meninggalkan tempat ini.



Kaledo: Kaki Lembu Donggala

Makanan khas Sulawesi Tengah ini memang cukup terkenal, Makanan ini mirip dengan Kondro dari makassar bedanya bagian utama yang disajikan adalah tulangnya yang dari kaki lembu dan disajikan bukan dengan nasi melainkan dengan ubi. Tulangnya itu sendiri adalah ruas tulang lutut yang masih penuh dengan sum-sum. Sebagian mengatakan, bahwa Kaledo berasal dari Bahasa Kaili, bahasa penduduk Palu. Ka artinya Keras, dan Ledo artinya Tidak, sehingga dapat diartikan "tidak keras"


Untuk menikmati makanan khas ini diperlukan peralatan seperti Pisau, Sumpit dan Sedotan. Pisau digunakan untuk mengiris-iris daging yang melekat di tulang kaki, sementara sumpit digunakan untuk menghancukan sum-sum yang ada di dalam tulang kaki lembunya. Sedotan digunakan untuk menyedot sum-sum yang sudah di hancurkan. Makanan ini di sajikan dengan kuah segar bening dengan bawang goreng dan ulekan cabe yang endes. Satu porsi dibandrol dengan harga yang cukup mahal, senilai RP75.000,00 tapi harga segitu cukup sebanding dengan rasa Kaledo yang begitu nikmat.


Kalode Loli menjadi pilihan kami, tempatnya sekitar 20 km dari pusat kota. Menemukan tempat ini agak repot, apalagi tempatnya yang sedikit tersembunyi. Konon katanya Kaledo di sini adalah Kaledo terenak di Sulawesi Tengah. Loli adalah salah satu nama desa di Donggala, dari sinilah makanan Kaledo itu berasal.  Kaledo Loli cukup terkenal, bahkan untuk mempertahankan rasanya Kaledo Loli ini tidak buka cabang

0 komentar:

Triwulan kedua tahun ini sudah berlalu. Saya bahkan sama sekali belum menyusun resolusi tahun 2019 ku. Belakangan beberapa tahun terakh...

RESOLUSI



Triwulan kedua tahun ini sudah berlalu. Saya bahkan sama sekali belum menyusun resolusi tahun 2019 ku. Belakangan beberapa tahun terakhir hampir 75% resolusi yang kususun gagal. Rontok terbentur realita yang menyakitkan. Resolusi tahunan  ini tadinya agenda rutin yang memang selalu kususun di awal tahun,  ada banyak harapan yang tertulis dalam catatan-catatan itu. Ada banyak janji masa depan yang kususun dengan baik disana. Tapi kalian tahu, cerita kehidupan tidak semenyenangkan drama-drama murahan ditivi yang sering kita tonton.

Tahun ini tak banyak yang ingin kugapai, aku hanya ingin menjadi ikhlas menjalani semua ini. Menjadi lebih bersabar atas apa yang takdir telah gariskan. Bukannya ke sabaran itu hanya sebentar, hanya sampai kita meninggal. Dan jika sekiranya besok adalah saatnya, artinya kita hanya bersabar sampai besok. Tidak terlalu lama bukan.

Untuk perjalananku, tahun ini aku memang berencana ingin kembali ke jalan. menemukan diriku di masa lalu. Mungkin sebuah perjalanan terakhir, the last solo backpacker. Saya ingin menyusuri jejak panjang perjalanan lintas Sumatera. Saya ingin mengunjungi Medan, Padang, Bukit Tinggi, Danau Toba, Aceh hingga Sabang. Titik terjauh Indonesia bagian barat. Terdengar sedikit mengerikan bukan, tapi bagiku perjalanan perjalan seperti ini ibarat perjalanan spiritual yang bisa mengantarkanmu bertemu Tuhan.

Orang-orang sering menemukan Tuhan di jalan, bukan di tempat ibadah. begitu seorang sufi pernah mengajariku. Kau mungkin kesulitan menemukan Tuhan ditempat ibadah, kebanyakan manusia disana berdiri menyembah Tuhan dengan angkuh tapi di jalan kau bisa tiba-tiba menemukan Tuhanmu.

“kau pernah bepergian dengan pesawat” ? tanyanya padaku

“aku mengangguk”

Saat pesawat turbelensi akut, tiba-tiba orang-orang dengan seketika menemuka Tuhan bukan.!
Aku kembali mengangguk.

Aku tiba-tiba teringat penerbanganku suatu hari dulu, di sore yang hujan. Turbelensi akut 11 menit pertama penerbangan kami membuatku begitu gugup. Saya merasa Tuhan begitu dekat saat itu.

Apakah seperti itu rasanya ?

Saya kembali membuka resoluis-resolusi tahun-tahun kemarin yang belum sempat ku gapai. Sebuah catatan berhurup kafital membuatku begitu tertarik. Aku tersenyum membaca catatan itu. rasa-rasanya waktu sudah berlalu begitu lama. Aku semakin tua.

Aku pernah menulis mimpi seperti itu. Tidak ada salahnya bermimpi, bukan ? saya terus menerus tersenyum membaca tulisan-tulisan usang itu. dulu saat umurku belum lagi seperempat abad, saya merasa begitu ambisisu, ingin ini ingin itu. mau ke sini mau kesana.  

Mimpi manusia bisa berubah ternyata. Nyatanya semakin bertambah umur kita, mimpi kita akhirnya semakin mengkerucut. Semakin sederhana. Dahulu aku pernah menulis bisa berkeliling dunia, aku menulis deretan nama-nama tempat indah yang wajib kukunjungi sebelum meninggal. kini bahkan meninggalkan kampung halaman pun aku segan. Kenyataannya saat kita semakin dewasa, mimpi menjadi tidak terlalu pentig. Realitas mengubah banyak persepsi kita tentang hidup dan kehidupan.  

Saya tetiba teringat suatu hari di pedalaman Topoyo, kabupaten terbaru di Sulawesi Barat. Hari itu saya mengikuti Kelas Inspirasi, saya ditugaskan untuk membawakan tema tentang mimpi didepan bocah-bocah sd yang masih polos. Satu persatu mereka mengutarakan mimipinya. Seorang anak membuatku tertarik. Diantara riuh-riuh teman kelasnya yang ingin menjadi polisi, pilot atau guru dia justru ingin menjadi nelayan. Kenapa tanyaku kepadanya. Aku tersenyum mendengar jawaban polosnya. Katanya biar bisa seperti bapaknya, bisa melaut bareng bapak.  Aku tersenyum memeluknya. Tak ada satu manusia dimuka bumi ini pun yang boleh meremehkan mimpimu nak.

0 komentar:

Autor: Andrea Hirata Paperback, 312 pages Published 2019 by Bentang Pustaka Original Title Orang-orang Biasa ISBN13978602291...

Resensi Novel Orang-Orang Biasa



Autor: Andrea Hirata
Paperback, 312 pages
Published 2019 by Bentang Pustaka
Original Title Orang-orang Biasa
ISBN139786022915249
Edition LanguageIndonesian

Jill Simmons, dalam sampul buku ini mengatakan, Orang-orang biasa akan menjadi buku kedua oleh Andrea Hirata yang akan menjadi best seller internasional setelah lascar pelangi. Saya setujuh dengan ungkapan ini. Saya rasa buku ini akan menjadi penantan kuat novel Laskar Pelangi.

Saya membaca hampir semua buku Andrea Hirata dan sekali lagi Andrea Hirata kembali membuatku jatuh suka. Buku ini berisi kisah 10 orang bodoh, yang gagal dalam menjalani kehidupan. Entah kenapa terkumpul secara alamiah bodoh, aneh dan gagal, 10 anak berderet-deret di bangku paling belakang di kelas: Handai, Tohirin, Honorun, Sobri, Rusip, Salud, Debut dan tiga anak perempuan Nihe, Dinah dan Junailah. Kisah kesepuluh orang ini berlanjut hingga mereka dewasa. Menjadi teman karib karena keadaan dengan nasib yang hampir sama mengenaskannya.

Novel ini awalnya kupikir novel satir yang akan menggambarkan betapa kejamnya kehidupan. Lingkaran setan kemiskinan, kebodohan, birokrasi dan berbagai macam tetek bengek kehidupan yang seakan tiada ujungnya. Saya justru tercengan dengan endingnya. Bahwa dibalik semua kebuntuan yang dihadapkan pada manusia selalu ada jalan keluar yang tak terpikirkan.

Buka ini mengambil setting di Belantik sebuah kota kabupaten kecil yang penduduknya lupa berbuat jahat. Adalah Inspektur Rojali yang mengidolakan Sahruk khan, yang sialnya ditugaskan di baerah Belantik yang tenang dan minim criminal. Inspektur Rojali sangat mendambakan suatu momen dimana dia bisa berteriak “angkat tangan’” sambil menodongkan senjata, seperti idolanya Sahrukhan dalam film-film laga india yang dia sering tonton. Sayangnya moment itu hampir tak pernah dia temukan. Belantik bisa dikatakan hampir minim dengan aksi kejahatan apapun.

Novel ini bercerita tentang komplotan orang bodoh, 10 orang yang kelihatannya gagal dalam kehidupan, mereka berencana merampok Bank karena alasan yang dianggap muliah, dan entah kenapa perpaduan antara kebodohan, ketidak becusan, amatiran dan idealisme menjadi sesuatu yang menarik dibaca. Saya terngakak ngakak sendiri di kamar, membaca betapa konyolnya kelakuan komplotan ini. 

Ciri khas dari setiap novel Andre Hiarata yang kusukai adalah dia begitu cermat dan detail menggambarkan setiap tokoh, adegan dan lokasi kejadian. Bahkan tokoh yang kadang kita anggap hanya pemeran biasa selalu diberikan porsi yang cukup dan pas. Seperti bagiamana Andre Hirata menghidupkan tokoh Inspektur Rojali. 

Saya jatuh suka pada tokoh polisi idealis seperti inspektur Rojali. Inspektur Rojali di gambarkan begitu idealis. Sosok Polisi yang jadi panutan masyarakat dan pahlawan bagi masyarakat dan idola anak-anak kampung. Polisi yang konon kehidupannya lebih lurus dibanding marka jalan. berkali-kali Inspektur Rojali harus menghadapi dilemma antara integritas dan kemelut hidup namun inspektur Rojali selalu mampu memenangkan pertarungan itu. tidak ada istilah abu-abu dalam hidupnya, yang ada hanya hitam atau putih. Sosok polisi yang memang hanya ada di dunia fiksi.
Andre Hirata memunculkan tokoh ini mungkin mewakili harapan masyarakat Indonesia saat ini. Masyarakat Indonesia butuh sosok Polisi seperti itu, jujur, berintegiratas dan selalu bisa diandalakan oleh Masyarakat. Sayangnya di negeri kita ini, kita hampir tak lagi menemukan sosok seperti itu. 

Saya sarangkan bacalah novel ini dalam keadaan betul-betul santai mengingat akan ada begitu banyak nama yang muncul di novel ini. Saya bahkan membaca buku ini dua kali secara beruntu karena begitu sukanya dengan buku ini. Terimakasih Bang Andre sudah menuliskan buku ini.

2 komentar:

Leaves from the vine Falling so slow Like fragile tiny shells Drifting in the foam Little soldier boy Come marching home Br...

Daun yang Gugur



Leaves from the vine
Falling so slow
Like fragile tiny shells
Drifting in the foam
Little soldier boy
Come marching home
Brave soldier boy
Comes marching home

-Iroh-
“In Honor of Mako”

Lagu diatas dinyanyikan oleh seorang ayah untuk mengenang anak lelakinya yang gugur dalam perang. Seorang ayah tampak begitu rapuh sedang membakar dupa dibawa pohon yang rindang didepan foto seorang pemuda belia. Sebuah cuilan adegan dalam film faporitku, Avatar Aang. Menurutku diantara semua part dalam film ini, momen inilah yang paling sangat menyentuh. Saat seorang ayah meneteskan air mata dan menyanyikan lagu sedih ini. Jendral Iroh digambarkan sosok yang sangat kuat namun kocak, tapi pada sesi tertentu dia begitu melangkolis. Nyatanya kematian tidak hanya memisahkan manusia, kematian juga melahap banyak kebahagian orang-orang. 
 
Beberapa minggu yang lalu, sahabat kecil saya meninggal. Kalian tahu, kehilangan sahabat itu menyakitkan. Mungkin terlihat biasa tapi begitu aku mengenang masa-masa kecilku, dadaku terasa begitu nyeri. Tuhan memanggilnya telalu cepat. Seperti bapaknya dulu.

Aku ingat, waktu itu usianya masih 8 tahun. Kami baru duduk di kelas dua SD. Ayahnya meninggal dalam sebuah kecelekanaan kendaraan dan sahabatku itu menjadi yatim. Kini, tak berselang terlalu lama setelahnya dia juga meninggal di usia yang masih sangat muda, meninggalkan seorang anak dan calon bayi berusia 8 bulan yang masih berada di perut istrinya. Aku terpekur menatap makamnya yang basah. menatap miris. Mesiki interaksi kami beberapa tahun terakhir tidak seintens di masa lalu. Tapi aku tau, kami terikat  sesuatu. Sesuatu itu aku sebut sebagai “sahabat”

Beberapa malam yang lalu, aku bermimpi tentangnya. Aku bermimpi kembali ke masa kecilku dulu. Aku bermain gundu dengan kawanku itu. entah apa yang membuat kami tertawa begitu lepas. Aku ingat ketika dia tertawa matanya yang sipit akan semakin hilang. Dulu waktu kecil kami sering memanggilnya boboho, dia montok seperti boboho itu. film lucu paforit anak kecil jaman ku dulu. Kami bermain di bawa pohon mangga berbuah lebat yang selalu kami panjat jika musim mangga tiba, juga sebuah ayunan kecil yang suka kami perebutkan.

Saat sedang asik bermain itu, tiba-tiba bapaknya datang menjemputnya dan membawanya pergi. Dia tidak sempat mengucapkan sepatah katapun. Dia bahkan tidak berpaling menengokku kebelakang. Dia hanya pergi. Dan mimpiku berakhir disitu. Aku terbangun dan kudapati diriku menangis. Kematian mungkin hanya seperti itu. hanya seperti selaput gagasan tipis yang begitu gampang diseberangi. Dan tiba-tiba kita disitu. Di dunia kehampaan, dunia keabadian. Dunia ketiadaan. Kita mati. 

Lain malam, aku bermimpi bertemu tanteku, mimpi yang sama beberapa kali. Tanteku baru saja meninggal sebulan yang lalu. Dia datang, hanya tersenyum dengan baju dan kudung putihnya. Dia tak berucap kata, hanya tersenyum. Datang dan tersenyum. Hanya seperti itu. Mungkin dia ingin menagih janji-janjiku kepadanya. Aku memang banyak menjanjikannya sesuatu, mengantarknya ke dokter, mengantarnya terapi atau macam-macam janji yang ku iyaiyakan saja ketika dulu dia memintanya. Dan sampai akhirnya dia meninggal janji itu tak kutepati. Penyesalan memang selalu datang terlambat. Entah kenapa akhir-akhir ini saya sering bermimpi yang aneh, dikunjungi orang-orang yang telah meninggal. Mungkin Tuhan sedang ingin menyampaikan sesuatu.

0 komentar:

Gejala awal hiportemia adalah tubuh akan berusaha menghasilkan panas dengan cara menggigil, jika tidak berhasil, sirkulasi darah akan m...

Banyuwangi Part III: Misteri Blue Fire Kawah Ijen


Gejala awal hiportemia adalah tubuh akan berusaha menghasilkan panas dengan cara menggigil, jika tidak berhasil, sirkulasi darah akan menurun secara ekstrem metabolisme tubuh akan menjadi melambat. kau sekarat tanpa kau sadari, pada tahap akhir kamu hanya bisa bernafas tiap dua kali semenit, kamu berada dalam keadaan mati suri. Saya menggeliat kedinginan di puncak Gunung Ijen. Jaket tipisku tak mampu menghalau udara dingin yang menusuk-nusuk. Kecerobohanku berbuah penyesalan. Jaket tebal yang seharusnya kubawa serta, tertinggal di rumah hanya karena alasan fleksibilitasi. Saya memang akan langsung menuju Mataram setelah dari sini. Pertimbangan itulah membuatku harus mengemas barang seefisien dan seringkas mungkin.




Suhu dingin pegunungan ini membuatku hampir hipotermia, beruntung dipuncak saya bertemu dengan beberapa pendaki lokal yang sedang membuat api unggung. Saya dipersilahkan bergabung menghangatkan diri. Rasa-rasanya saya ingin membakar diri diatas perapian itu saking dinginnya.
Kawah ijen merupakan destinasi utama yang ingin kudatangi di Banyuwangi. Perkenalanku pertama kali dengan ijen pada akhir 2013 lalu, dalam penyebrangan lintas pulau, Banyuwangi-Bali. Saya melihat Gunung Ijen menjulang tinggi dari atas kapal penyebrangan yang menyebrangkan kami ke pulau dewata. Seseorang di  kapal penyeberangan itu bercerita, konon di puncak ijen itu ada api yang berwarna biru yang begitu indah, mitosnya api itu tidak bisa menapakkan dirinya pada sembarang orang.  Sejak hari itu saya terus menerus bermimpi untuk bisa melihat dari dekat blue fire yang konon hanya ada dua di dunia itu. Di kawah ijen dan di Islandia.

Pendakian di kawah ijen bermula di pos Paltidung,. Pintu gerbang pendakian baru dibuka pada pukul 01.00 dini hari, dan akan ditutup menjelang siang hari, lewat dari jam itu, jangan harap pengelola kawasan wisata ini akan mengijinkan kita untuk mendaki. Pendakian hari ini tidak terlalu ramai, mungkin karena bukan musim liburan. Pendaki justru di dominasi oleh wisatwan asing. Sekolompok turis dari Singapur tampak begitu bersemangat, juga sepasang manula dari Spanyol yang datang hanya berdua tampa guide. Keluarga kecil dari Jerman dengan anak lelakinya yang belum berumur lima tahun juga terlihat bersemangat. Selain wisatawan asing tempat ini juga diramaikan dengan penambang belerang dan penjajah jasa ojek troli. Kalian jangan bayangkan ojek ini sama seperti ojek-ojek yang kalian kenal pada umumnya. Ojek ini seratus persen menggunakan tenaga manusia bukan tenaga mesin. Jadi, troli yang seharusnya digunakan untuk mengangkut belerang dari puncak gunung dimodifikasi sedemikian rupa agar bisa mengangkut manusia. Satu atau dua manusia bisa diangkut sekali jalan. tarifnya tergantung jarak. Dari pos satu titik awal pendakian, tarif ditawarkan sekitar Rp800.000 untuk bolak balik perjalanan. Tarif akan terus berkurang tergantung jauh dan dekatnya puncak ijen.


Saya miris melihat adegan ini. Ini bukan jasa ojek menurutku, ini jasa perbudakan. Perbudakan dengan cara yang berbeda.  Dikotomi memang, orang-orang berduit mengeluarkan beberapa lembar rupiah untuk memudahkan menikmati tempat ini, berfoto-foto, pamer di medsos hanya untuk beberapa like dan komen di Instagram. Disisi sebaliknya, penjajah jasa ojek harus bejibaku, bermandikan keringat mengendalikan troli di jalan-jalan pendakiang yang curam, untuk beberapa lembar rupiah agar asap dapur tetap bisa mengepul, agar anak-anak mereka masih bisa tetap menikmati bangku sekolah. kehidupan selalu punya dua sisi



Untuk mencapai puncak kawah setidaknya dibutuhkan waktu normal 2 sampai 4 jam perjalanan, dengan jalur tracking menanjak tampa jeda. Jalur pendakian terbilang lebar dengan bebatuan, jalan berdebu dan pepohonan rapat khas vegetasi hutan di sepanjang jalannya.

Tantangan pertama yang kuhadapi adalah perjalanan dari tempat penginapan ke pintu gerbang Gunung Ijen, dari stasiun Karangasem kita harus berangkat dini hari. Saya memacu kendaraanku pukul 01 dini hari, menuju posko penjaga taman nasional gunung ijen. Peralanan dari stasiun karang asem ke titik awal pendakian kurang lebih satu jam lamanya. Perjalan ke pos platidung ini tidak bisa dibilang mudah. Motor matik yang kugunakan berkali kali harus ku dorong, mengingat jalan yang dilewati mendaki dan berkelok kelok.

Teman seperjalananku sudah jauh meninggalkanku. Bayangkan kau mendorong motor di pendakian dini hari ditengah hutan dan tak ada sesiapa. Bahkan sampai sekarang kalau aku mengigatnyapun membuat bulu kudukku merinding. Saya mengumpat berkali-kali dalam hati. Teman seperjalananku meninggalkanku begitu saja. Resiko backpacker sendiri kadang memang setragis ini. Kau tak boleh berharap pada siapapun, termasuk teman seperjalanan yang baru kau temui.  Satu-satunya yang bisa kau harapkan adalah dirimu sendiri. Beruntung tak lama kemudian pos platidung tampak terlihat dari kejahuan.  Orang-orang sudah sedari tadi memulai pendakian, mengingat blue fire hanya bisa dilihat pada jam-jam tertentu.

Saya berkeliling mencari teman perjalananku tadi, kutemukan dia menantiku di dekat pintu gerbang utama. Sebelum mendaki kuputuskan untuk mengisi perut terlebih dahulu. Di kawasan ini tak susah untuk menemukan warung yang masih terbuka hingga dini hari. Saya menikmati segelas pop mie di warung persis didepan pintu gerbang utama, juga segelas kopi jahe hangat dan membeli sebotol besar air minum untuk kubawa serta ke puncak.

Setelah merasa siap, kami mulai mendaki dari pos Platidung, tak lupa membayar biaya registrasi terlebih dahulu. Sepanjang pengalaman saya, 30 menit pertama pendakian adalah waktu-waktu kritis, tubuh kita mengalami perubahan metabolism secara drastis. Suhu dingin pegunungan turut mempengaruhi ketahanan tubuh kita. Itulah mengapa pendakian ke gunung itu bukan perkara sederhana, bukan perkara kau bisa memenuhi feed instagrammu dengan berbagai foto kece. Pendakian ke gunung itu bisa kau bayar dengan nyawamu. Saya terbayang-bayang peristiwa dua tahun lalu, sesorang pendaki asal Bali meninggal di Puncak Ijen. Di usianya yang masih sangat belia.
Apalagi persiapanku mendaki tidak cukup baik, mengingat perjalanan ini begitu tiba-tiba. Berkali-kali aku harus berhenti menenangkan diri, membiarkan tubuhku bisa beradaptasi dengan baik. Teman seperjalananku entah dimana. Nyatanya kami memang tidak cukup akrab karena baru saja dipertemukan sore tadi. Mungkin saya meninggalkannya terlalu jauh.

Pendakian menuju puncak kawah ijen terus menerus menanjak, beruntung di pertangahan jalan kita bisa berehat sejenak. Terdapat warung yang menyediakan anekan minuman hangat dan mie instan yang bisa kembali menyuplai tenaga. Juga terdapat toilet dengan fasilitasnya yang lumayan memadai. Saya memutuskan kembali berhenti sejenak, menikmati segelas wedan jahe hangat. Kembali mengumpulkan tenaga dan semangat.  Beberapa tahun yang lalu saya telah memutuskan untuk tidak lagi melakukan pendakian-pendakian semacam ini namun kerinduanku dan rasa penasarannya dengan blue fire itu membuatku melanggar janjiku. Dengan kondisi yang serba terbatas ini, saya memaksakan diri menggapai puncak ijen

Setiap orang punya alasan masing-masing, kenapa harus mendaki gunung ? atau kenapa memilih bepergian sendiri atau naik gunung sendiri. Aku juga menyimpan alasanku sendiri. Perjalan-perjalanan sendiri seperti ini semacam endropin tambahan buat tubuhku. Memberiku jeda sejenak dari rutinitas kerjaan atau beban masalah yang kadang tak ada habisnya. Perjalanan sendiri memberimu banyak space untuk merenung. Memaknai ulang apa-apa yang telah terjadi dengan hidupmu.

Saya tak ditakdirkan bertemu dengan api abadi itu, si blue fire yang mengagumkan. Api Biru yang hanya ada dua di dunia. Kecewa. Pendakian selalu mengajarkan banyak hal, termasuk kegagalan. Nyatanya tidak semua hal yang kita inginkan bisa kita dapatkan, seberapa kuat pun kita terus menerus mencoba. Manusia selalu dibatasi garis batas. Orang-orang menyebutnya “takdir”. Mungkin memang banyak hal dalam hidup ini harus berlalu begitu saja. Mungkin memang kita harus lebih banyak belajar untuk kecewa agar kita bisa berdamai dengan banyak hal yang tidak sejalan dengan hati kita.
Setelah pendakian ini, saya merasa tak lagi memiliki minat untuk mendaki ke gunung manapun di Indonesia, tidak Semeru yang puncaknya dulu menolakku untuk kegapai atau  Rinjani yang telah menolakku dua kali, bahkan ketika saya telah berdiri didepan pintu gerbangnya.

Perjalananku berikutnya mungkin akan ku fokuskan pada tempat-tempat menarik di seluruh wilayah Indonesia, saya hanya akan berkeliling dari provinsi ke provinsi, kota ke kota bahkan desa ke desa, saya berjanji akan menginjakkan kaki di lebih banyak tempat di negeri ini. Melihat berbagai macam hal yang sebelumnya belum pernah kulihat, tapi maaf untuk mendaki gunung, sudah kuucapkan terimakasih dan Assalamualaikum.   





Bersambung

0 komentar:

Goodreads challenge Pada tahun 2018 kemarin untuk pertamakalinya selama beberapa tahun saya mengikut challenge di goodreads berhasil...

Resensi Novel See Prayer by khaled Hosseini



Goodreads challenge
Pada tahun 2018 kemarin untuk pertamakalinya selama beberapa tahun saya mengikut challenge di goodreads berhasil menyelesaikan semua targetku. saya menargetkan membaca 25 buah buku dan Alhamdulillah berhasil menyelesaikan 26 buku. lebih banyak dari jumlah target yang kutetapkan di awal challenge. saya membaca beberapa buku yang sangat luar biasa di tahun kemarin  dan sekarang saya kembali mengiktu goodreads challenge dengan menargetkan lebih banyak buku dari tahun sebelumnya yakni sebanyak 30 buah buku. Semoga tahun ini target saya kembali bisa tercapai

See Prayer
Buku pertama yang berhasil kuselesaikan di tahun 2019 adalah  "Sea Prayer" karya pengarang terkenal Khaled Hosseini penulis novel best seller “Kit Runner” dan “a Thousand Splendid Suns”. Dua buku yang begitu berkesan buat saya.

Sea Prasyer sendiri hanya novel tipis tak lebih dari 50 lembar yang dibuat lengkap  dengan ilsutrasiya yang begitu dingin dan menyedihkannya. Menurutku buku ini begitu emosional, sangat nyata dan begitu menyayat hati.  Buku ini didedikasikan kepada ribuan pengunsi yang raib di lautan demi menghindari perang dan penganiayaan. Khaled Hossein menulis buku ini sebagai keprihatinan atas krisis pengungsi yang saat ini terjadi di dunia. Dia tergugah oleh foto Alan Kurdi, bocah pengungsi Suriah usia 3 tahun yang jenazahnya terdampar di sebuah pantai di Turki. Khaled ingin memberi penghormatan pada jutaan keluarga yang tercerai-berai dan terusi dari rumah mereka gara-gara perang. Royalti dan buku ini akan disumbangkan ke UNHCR dan Yayasan Khaled Hosseini untuk membantu para pengungsi di seluruh dunia.

Membaca buku ini sungguh membuat hatiku  hancur. Kehidupan di kota tua Homs yang tadinya digambarkan begitu indah tiba-tiba berubah 180 drajat. Angin sepoi-sepoi di musim panas yang menyejukkan berganti dengan deru mesiu yang tiba-tiba memporakporandakan kehidupan yang tenang di Homs.  Jutaan bom-bom dijatuhkan, membentuk kubangan yang bisa dijadikan kolam renang. Darah menggenang.   Anak-anak menjadi yatim, perempuan menjanda, kelaparan. Dan ribuan lainnya harus meninggalkan tanah kelahiran mereka menuju sesuatu yang sama tak pastinya. Apapun alasannya perang adalah kejahatan tak termaafkan.

Perang telah menyakiti banyak orang. Tak terhitung berapa juta orang yang meninggal karena perang, sebagian yang memilih mengunsi sama menyedihkannya, ribuan orang raib ditengah lautan. Hilang ditelan ganansnya ombak, Sebagian yang lebih beruntung menemukan daratan namun mereka tak disambut, terusir lagi. Mengungsi lagi. Dan nasib mereka mungkin akan kembali seperti Alan Kurdi.

Tentang Alan Kurdi.

2 September 2015. Rabu pagi. Hari itu dunia dikejutkan dengan potret seorang bocah terdampar ditepi pantai di Turki. Dengan cepat gambar itu viral di media social, dunia terguncang. Bocah itu pengungsi dari Suria bernama Alan kurdi. Dia menjadi salah satu dari 12 warga Suriah yang ditemukan tenggelam dalam pengungsiannya. Ia berjuang bersama saudara laki-lakinya dari kota Kobani, Suriah Utara. Sayangnya saudara Alan Kurdi juga meninggal dalam persitiwa itu. Alan Kurdi hari itu ditemukan tergeletak tak bernyawa di bibir pantai di Turki, lengkap dengan sepatu kecil hitamnya celana pendek biru dan kaos merah bergambar. Hari itu Alan Kurdi seakan ingin memberitahukan pada dunia, inilah yang telah kalian lakukan padaku. Inilah akbiat dari ketidakpedulian kalian padaku. Jutaan Alan Kurdi lainnya di Suriah, Palestin, Afgahnistan, YordAnia dan negeri-negeri berkonflik lainya  mungkin akan bernasib sama sepertiku atau mungkin akan jauh lebih menyedihkan. Dan kelak kalian akan aku tuntut di hadapan Tuhan atas ketidakpedulian kalian.



Note: Terimakasih dari komunitas tukar buku “KOTUBU” yang mengirimiku buku ini. Buku ini sangat berarti buat saya.

0 komentar: