Tiba-tiba saya sudah di titik ini, di umur kepala tiga. Dahulu dimasa saya masih berstatus mahasiswa, saya mengira umur dititik ini masih ...

Tertipu Oleh Waktu

 



Tiba-tiba saya sudah di titik ini, di umur kepala tiga. Dahulu dimasa saya masih berstatus mahasiswa, saya mengira umur dititik ini masih begitu jauh, tapi nyatanya saya seperti tertipu waktu. Hari ini saya terbangun dan sadar, saya sampai juga dititik mendewasa secara angka.


Pada titik ini saya tak lagi bersemangat merayakan bahkan mengingat hari lahirku. Saya menghela nafas panjang, umur memang bukan menjadi standar ukur apapun. Untuk mati misalnya tidak perlu umurmu harus berbilang tahun. Kau bisa tiba-tiba saja mati. Mati begitu saja. Pun perkara lainnya umur sungguh tak bisa jadi tolak ukur. Menikah, jadi kaya, sekolah, bahagia, bersedih, bekerja, pendek kata perkara apapun. Satu-satunya yang pasti terkait umur adalah  semakin waktu berlalu artinya waktu hidupmu semakin habis. Tidak ada cerita itu kau terbangun dipagi hari dan umurmu juga bertambah sehari, yang ada setiap kali kau terbangung dipagi hari itu berarti selangkah lagi kau menuju liang lahatmu. Manusia sungguh selalu tertipu oleh waktu


Dahulu saya berfikir, semakin kita dewasa semakin kita akan merasa bahagia, kenyatannya semakin kita mendewasa beban hidup kita justru semakin bertambah. Mimpi-mimpi masa muda yang dulu kita bangun seakan tergerus oleh realitas yang menyakitkan. Kau akan mendapati satu persatu mimpimu rontok terbentur realita yang menyakitkan.


Saya pernah bertanya kepada seorang kawan “Kenapa manusia bisa merasa sedih atau kenapa manusia masih sering merasa kecewa”. Kenapa Allah masih menyisahkan perasaan seperti itu bahkan saat kita berusaha meniti jalan-Nya. Sahabatku tersenyum dan berkata “Manusia itu penduduk langit, bukan penduduk bumi. Jadi Manusia di uji dengan perasaan seperti itu agar mereka tidak merasa terlalu betah untuk tinggal di bumi. Agar kita selalu merasa rindu untuk kembali ke rumah kita, kembali ke langit, kembali ke surga.


Barangkali memang kita tidak bisa merasakan bahagia seutuhnya, barangkali memang kita harus disuruh bersabar sampai nanti kita melangkah ke surga atau barangkali kita hanya kurang bersyukur untuk semua hal yang telah Allah titipkan. Bukannya rasa bahagia itu memang hanya datang sejenak, Kita disesapi bahagia  sesaat lalu ditimpakan rasa bermacam-macam setelahnya. Barangkali cara kerjanya memang seperti itu.


Beberapa hari yang lalu saya membuka catatan-catatan lamaku, saya menemukan seratus hal yang ingin kucapai dalam hidupku. Saya tersenyum melihat catatan itu. Beberapa memang tercapai, bahkan sebagian besar sudah tercapai tapi beberapa terlihat sangat tidak realistis untuk kondisiku sekarang ini. Kenyataannya ketika mendewasa idealisme menjadi hal yang tidak terlalu penting. Kita menjadi lebih rasional untuk melihat sesuatu.


Rasa-rasanya saya tiba-tiba ingin menyusun kembali agenda hidupku, ingin menata kembali banyak hal yang terlewatkan selama ini. Entah kenapa beberapa tahun belakangan ini  saya mengabaikan mapping life ku itu, terutama semenjak saya bekerja. Dunia saya seperti tersedot oleh dunia kerja, waktu berjalan terlalu cepat dan tiba-tiba saya disini. Diangka kepala tiga. Saya tertipu waktu.  


Berbicara mengenai mimpi, apakah diusia seperti ini saya masih punya kesempatan untuk bermimpi apakah saya masih layak menyusun mimpi-mimpi saya kembali ? saya sendiri tidak terlalu yakin, tapi bagaimanapun juga  saya tetap berusaha menyusunnya. Saya berusaha kembali menyusunnya dengan cara yang lebih realistis. Saya memetakan kembali apa yang harus kucapai setiap tahunnya sampai sepuluh tahun kedepan saya berharap dengan kembali membuat planning seperti ini saya punya pegangan untuk melangkah dan kemana akan saya bawah arah hidup ini.  




3 November 2020

0 komentar: