Jakarta, 03 Mei 2016.  Kita tidak pernah tahu kapan hujan akan turun seperti halnya kapan hujan memutuskan untuk berhenti. Seperti kehid...

Sepenggal Kisah dari Bangka Belitung (Road to the Sequel)


Jakarta, 03 Mei 2016. 
Kita tidak pernah tahu kapan hujan akan turun seperti halnya kapan hujan memutuskan untuk berhenti. Seperti kehidupan, Kita tidak pernah bisa menebak ke arah mana kehidupan ini membawa kita dan kapan akhirnya kehidupan mengucapkan selamat tinggal. Kalian tahu, kehidupan ku dua tahun ini berubah drastis. Saya tidak lagi punya banyak waktu bahkan hanya untuk duduk diam dan menghabiskan berlembar-lembar buku bacaan kesukaanku, atau duduk semalaman mengetik berbagai macam hal yang terlintas di pikiranku. 



Siang ini saya duduk di sebuah kafe di bandara Soekarno Hatta. Menanti pesawat yang akan menerbangkan ku ke pulau laskar pelangi. Menikmati sepiring kentang goreng dan segelas milk shake vanila. Hiruk pikuk bandara dan aroma pengap ibukota menyatu di udara, bising dan sumpek. Susana kafe terbilang ramai, pengunjung datang dan pergi silih berganti. Pelayan kafe terlihat begitu sibuknya, lalu lalang kesana kemari mengantar pesanan dan membersihkan meja. Berulang kali. 

Saya duduk di lantai dua, bagian terpojok kafe ini, leluasa menikmati kesibukan manusia-manusia yang seakan tidak ada habisnya ini.  Entah mengapa akhir-akhir ini ketika bepergian saya selalu menyukai datang lebih awal, jauh sebelum jam boarding tiba atau ketika transit saya lebih menyenangi memilih jam transit yang lama, memberikan kesempatan pada diriku untuk berhenti sejenak dan menikmati kesendirian ku. Kesendirian diantara hiruk pikuk manusia. Saya jatuh cinta dengan keadaan ini, atau mungkin waktu-waktu menunggu, waktu-waktu transit adalah satu-satunya waktu yang benar-benar kumiliki sekarang.  

Ketika kita sendiri entah kenapa kenangan-kenangan masa lalu bisa tiba-tiba datang begitu cepat tanpa bisa dicegah seperti hujan yang tiba-tiba menderas dan membasahi apapun yang ditubruknya.  Sialnya kenangan-kenangan itu biasanya datang beriringan dengan kesedihan-kesedihan kita. Mengobrak abrik luka-luka lama yang telah sekian tahun aku berusaha sembuhkan.  Dan aku menikmati ketika rasa-rasa itu datang. Saya merasa kembali menjadi manusia. 

Hati manusia itu rumit, begitu susah untuk dipahami. Begitu luas, begitu susah untuk dijelajahi, begitu dalam, begitu susah untuk diselami. Hati yang hanya sebesar genggaman tangan itu hingga kini belum bisa dipecahkan misterinya.

Pangkal Pinang, 03 Mei 2016 , 
17.30. WIB. Pesawat Boing ini membawa ku terbang membela langit Jakarta. Ini kali kedua aku menggunakan jasa maskapai ini. Kali pertama suatu masa dulu, dan membuatku berjanji untuk tidak lagi-lagi menggunakan maskapai ini.  Menggunakan jasa maskapai ini berarti aku telah melupakan kesalahan masa lalunya. Maskapai ini telah banyak berbenah ternyata, satu dua pramugirinya tampak berjilbab, juga sebelum take off kita diarahkan untuk berdoa terlebih dahulu, sesuatu yang sangat jarang kutemui di maskapai manapun di Indonesia ini, bahkan untuk maskapai plat merah sekalipun. Pandanganku tentang maskapai ini akhirnya berubah. Dan akan kugunakan jasanya lain kali jika akan bepergian lagi.

Entah kenapa rasa jengah mulai mendebatku. Fisikku mulai menolak ketidak nyamanan perjalanan. Bosan mungkin. Perjalanan-perjalananku selama ini entah mengapa terasa semakin sia-sia. Apa sebenarnya yang harus kutemukan. Apa seharusnya yang aku cari di semua perjalanan-perjalanan itu atau memang sudah seharusnya mengucapkan selamat tinggal. Menutup lembar cerita ini.

Ini pertama kalinya aku menginjakkan kaki di pulau yang pernah jaya dengan timahnya ini. Udara hangat menerpa wajahku. Aroma angit laut terasa menyesakkan. Saya menyeret gontai koperku menuju pintu kedatangan, seorang kawan menantiku di luar sana.  Kata pertama yang muncul dibenakku menggambarkan tempat ini adalah “SEPI”. Sepanjang jalan dari bandara menuju tempatku menginap begitu lengang. Jalan-jalan raya yang lebar berbanding terbalik dengan jumlah kendaraan yang lalu lalan. Dari Sekilas saya bisa melihat kejayaan tempat ini di masa lalu. Pangkal pinang memang terkenal karena kejayaan timahnya di masa lalu. Tidak banyak yang harus kuceritakan di sini, mungkin lain waktu jika tangan ini masih diberi kemudahan untuk mengetikkan kata demi kata. Saya menghabiskan beberapa hari disini, mengunjungi banyak tempat dan pantai-pantai yang indah. Juga tidak melewatkan museum Timah dan Musium pengasingan Soekarno yang jaraknya berjam-jam dari kota Pangkal Pinang. Semoga serpihan cerita tersebut masih bisa kuabadikan di blogku suatu hari nanti. 

*bersambung 

0 komentar: