Puncak Sikunir Kadang memang kita butuh sendiri seperti hari ini, saya berada di bilik sebuah warnet aku suka dunia sempit ini ...

Golden Sunrise dan Kisah Pilu Dieng

Puncak Sikunir


Kadang memang kita butuh sendiri
seperti hari ini, saya berada di bilik sebuah warnet
aku suka dunia sempit ini
seperti melepaskanku dari sesutau
aku merasa aman, hanya aku dan diriku.
tidak melakukan apa-apa.
menikmati segelas kopi hitam Toraja yang beraroma pahit dan sedikit pekat

******


Kalian penah ke Dataran Tinggi Dieng ? Kalian tahu tempat itu ? Konon katanya golden sunrise terindah di Indonesia bisa dinikmati di tempat ini. negeri pada Dewa. Golden sunrise bisa di nikmati di ketinggian Gng. Prau 2 565 mdpl, atau kalau tidak ingin repot cukup ke puncak sekunir dengan ketingginya yang hanya 2.263 mdpl. Untuk menikmati golden sunrise di puncak sikunir anda harus berangkat dini hari. Dari penginapan kami berkendara ke arah desa tertinggi di pulau Jawa "sembungan". Desa ini berada di ketinggian kurang lebih 2.000 meter di atas permukaan laut, dengan suhu yang cukup dingin, sekitar 10 -18 derajat celcius  dan panorama yang luar biasa indahnya.

selain Tibet di Himalaya yang eksotis itu, (baca bukunya Agustinus Wibowo: Titik Nol, Selimut Debu, Garis Batas. Recomendet banget deh) Desa Sembungan ini adalah dataran tiggi  berpenghuni ke dua di dunia. Oh iya, di desa ini juga da sebuah telaga indah namanya telaga cebong, biasanya wisatawan lokal maupun mancanegara memilih mendirikan tenda di seputaran telaga ini. Telaga ini cukup cantik, dengan airnya yang kehjau-hijauan, meski tidak secantik telaga warna. Dari titik ini pulalah pendakian ke puncak sikunir bermula tidak butuh lama untuk sampai puncak sikunir, hanya kuran lebih 30 menit. hari itu kebetulan pengunjung lagi ramai-ramainya, kami berdesak-desakan mencari spot terbaik untuk menikmati golden Sunrise itu.

Golden Sunrise
Awalnya saya sedikit kecewa, matahari tampaknya terlambat bersinar. Saya takut setelah menempuh perjalanan berjam-jam dari Jogja, saya tidak menemukannya tapi beberapa menit kemudian akhirnya matahari malu-malu menampakkan sinarnya. perlahan-lahan tapi pasti. cahaya kemerahan berpendar, merah, jingga, orange dan kadang berwarna emas kekuning-kuningan. Dadaku tiba-tiba terasa hangat, begitu menenangkan. aku menemukannya, sesuatu yang membuat aku selalu merindukan berdiri di titik-titik tertinggi negeri ini.

Kemarin saya juga menantinya di ketinggian prau 2.565 mdpl. setelah berjalan kaki
mengejar sunrise
 berjam-jam dari Dieng Plateau. Indah memang, susatu yang membuat saya selalu ingin dan ingin lagi, berdiri di ketinggian gunung-gunung itu. Menyaksikan matahari terbit dari balik awan. Mungkin ini disebut mountsick. sejenis penyakit yang menjangkiti orang-orang yang pernah merasakan summing atack di pucak gunung. Gejalanya hampir serupa penyakit homesick.

Dari puncak sikunir ini kita juga bisa memandang tujuh puncak gunung. Yakni Sindoro, Merapi, Merbabu, Lawu, Telomoyo, Ungaran, dan Prau di kawasan Dieng. Dari puncak Sikunir ketika pandangan mengarah ke barat terlihat Telaga Cebong yang bersebelahan dengan perkampungan Sembungan. Di sekitar Bukit Sikunir selain Telaga Cebong juga ada empat telaga lain, yakni Asat atau Wurung, Gunung Kendil, dan dua Telaga Pakuwujo.

Dibalik semua tempat indah itu, ternyata ada sebuah kisah tragis yang kalian harus tahu. Sebuah kisah yang telah diceritakan turun temurun oleh penduduk negeri ini. sebuah tragedi. Sebuah bencana. Kata orang "alam selalu punya cara utuk membalas kelakuan manusia" dan hal itu pernah terjadi di negeri indah ini.

Tahun 1979 sebuah tragedi memilukan terjadi. Gas beracun dari Kawah Sinila merenggut ratusan korban  Tragedi Sinila adalah peristiwa mencekam yang terjadi pada malam hari menjelang subuh tepatnya pada tanggal 20 Februari 1979. Tragedi ini disebabkan karena sebuah fenomena alam, yaitu letusan salah satu kawah di dataran tinggi Dieng, yaitu kawah Sinila. 149 orang tewas dalam peristiwa ini. Kawah Sinila terletak di antara Desa Batur, Desa Sumberejo, dan Desa Pekasiran, Kecamatan Batur. Pada malam mengerikan tersebut, Kawah Sinila meletus dan mengeluarkan banyak gas karbondioksida dari dalam kawah tersebut ke udara. Banyaknya gas beracun yang keluar dari dalam kawah, menyebabkan udara di sekitar pemukiman penduduk ikut tercemar. Orang dewasa, orang tua, dan anak-anak ditemukan tewas bergelimpangan di jalan-jalan di sekitar pemukiman penduduk. Bahkan, tidak hanya manusia, sejumlah hewan ternak pun ikut menjadi korban dalam tragedi mengerikan ini. Kawah Sinila meletus setelah sebelumnya terjadi gempa bumi di sekitar kawasan Dieng. Pemerintah Indonesia menyatakan Tragedi Kawah Sinila Dieng sebagai bencana nasional. (*)

Gas beracun merupakan ancaman utama di kompleks gunung api Dieng yang padat penduduk dan ramai dikunjungi wisatawan. Gas beracun ini kerap menguar dari 11 kawah yang bertebaran di kaldera Dieng. Misalnya, tahun 2011, Kawah Timbang yang sebelumnya dianggap tidak aktif tiba-tiba melepaskan gas beracun dan memaksa warga di sekitarnya mengungsi.

Kejadian serupa pernah terjadi di danau kawah gunung api di Danau Nyos dan Monoun, keduanya di Kamerun. Danau Monoun melepaskan gas karbon dioksida tahun 1984 dan merenggut 37 jiwa. Sedangkan, Danau Nyos melepaskan 1,24 juta ton karbon dioksida hanya dalam beberapa jam tahun 1986. Gas itu menewaskan 1.700 orang.

Sunrise yang dirindukan
Lebih jauh ke belakang, tahun 1955. Alkisah pada suatu malam turun hujan yang lebat. Tengah malam hujan reda. Tiba-tiba terdengar suara "buum", seperti suara benda yang teramat berat berjatuhan. Pagi harinya masyarakat disekitar dukuh Legetang yang penasaran dengan suara yang amat keras itu menyaksikan bahwa Gunung Pengamun-amun sudah terbelah (bahasa jawanya: tompal), dan belahannya itu ditimbunkan ke dukuh Legetang.   Menurut cerita dan mitos dari penduduk di sekitar desa tersebut bahwa anugerah yang di berikan terhadap masyarakat di desa itu telah di salah gunakan untuk kegiatan yang menyimpang dari ajaran agama. Sebagai bentuk hukuman Tuhan.  Alam dibuatnya murka, puncak dari Gunung Pengamun-amun di sebelah barat dari desa itu terlempar serta menimbun pemukiman penduduk setempat. Dukuh Legetang yang tadinya berupa lembah itu bukan hanya rata dengan tanah, tetapi menjadi sebuah gundukan tanah baru menyerupai bukit. Seluruh penduduknya mati. Kisah ini mirip dengan kisah kaum nabi Luth yang tenggelam dalam ke maksiatan. Tuhan mengadzab kaum itu dengan menimpakan gunung kepada penduduknya.

Selalu ada ibrah yang bisa diambil dibalik sebuah peristiwa.  Peringatan atas peristiwa bencana alam tanah longsor itu sekarang di bangun sebuah Monumen peringatan di atas desa tersebut yang di kenal sebagai Monumen Legetang Dieng. Di tugu tersebut tertulis:

"TUGU PERINGATAN ATAS TEWASNJA 332 ORANG PENDUDUK DUKUH LEGETANG SERTA 19 ORANG TAMU DARI LAIN-LAIN DESA SEBAGAI AKIBAT LONGSORNJA GUNUNG PENGAMUN-AMUN PADA TG. 16/17-4-1955"

Kisah ini sudah lama, tetapi mungkin banyak dari pengunjung Dieng atau bahkan warga Dieng sendiri yang belum mengetahuinya. Semoga kisah-kisah pilu seperti itu tidak lagi terjadi di negeri yang indah itu. Hendaklah kita bisa mengambil banyak pelajaran dari situ, hendaklah kita untuk selalu berusaha menjaga alam kita yang indah ini dan yang lebih penting kejadian-kejadian seperti itu seharusnya menjadi pelajaran buat manusia agar senantiasa berusaha untuk lebih mencintai alamnya dan Pencipta Alam itu sendiri.

Puncak Prau 2.565 mdpl


















* Semua Fakta-fakta tentang Dieng di tulisan ini disadur dari berbagai sumber
* Silahkan baca Postingan saya tentang Gunung Prau dan Bagaimana ke Dieng di postingan saya sebelumnya.
* Semua foto-foto di atas merupakan koleksi pribadi saya. Harap tidak mengambil tanpa izin terlebih dahulu.

0 komentar: