Saya tidak tahu, mengapa ketika anak-anak kecil itu tertawa renyah kita dengan gampang ikut tertawa. Mungkin kita sedang menertawakan d...

Persepsi


Saya tidak tahu, mengapa ketika anak-anak kecil itu tertawa renyah kita dengan gampang ikut tertawa. Mungkin kita sedang menertawakan diri kita sendiri, yang telah begitu lama melupakan ketulusan. Ketulusan menjalani hidup seperti masa kecil kita dulu. Atau kita sedang merindukan masa-masa keterpaduan kita dengan alam. Masa di mana aroma surga masih mendominasi wangi tubuh kita.

Anak-anak adalah bukti keterpaduan alam semesta dengan manusia. Anak-anak adalah kondisi di mana jiwa masih begitu bersih, terbebas dari persepsi-persepsi yang mendominasi hidup manusia dewasa. Pada dasarnya ketika kita dilahirkan, kita bagian dari alam. Jadi pada saat kita dilahirkan secara natural kita memiliki bahasa yang sama dengan alam tapi ketika kita beranjak besar kita menggunakan bahasa yang manusia ciptakan sendiri. Kita mulai lupa dengan bahasa alam. Kita menggunakan persepsi-persepsi yang timbul oleh dominasi pancaindra. Kita kehilangan intuisi alami.

Dominasi persepsi ini disebabkan semakin matangnya indra penglihatan, pendengaran dan akal yang membentuk pemahaman fatamorgana kita. Kita menjadi manusia yang melupakan keterpaduan kita dengan alam. Kita akhirnya membentuk hidup kita berdasarkan persepsi-persepsi tadi. Kita mulai melupakan bahasa-bahasa alam. Jadi ketika alam semesta memberikan sejuta pertanda kepada kita, kita yang mulai sombong ini tidak akan bisa memahaminya. #OlahRasa

0 komentar:

Apa yang salah menjadi seorang syi’ah, Ahmadiyah, atau Islam liberal ? Well, Keyakinan saya mengharuskan saya meyakini mereka sal...

Mereka bilang saya Liberal (Part II)





Apa yang salah menjadi seorang syi’ah, Ahmadiyah, atau Islam liberal ?

Well, Keyakinan saya mengharuskan saya meyakini mereka salah, salah secara aqidah. Tapi saya tidak ingin membahas kenapa aqidah mereka salah, kenapa mereka sesat atau kenapa mereka menyelisihi umat Islam pada umumnya. Silakan baca sendiri fatwa-fatwa ulama tentang penyimpangan-penyimpangan mereka.

Saya hanya ingin sedikit melihat mereka secara berbeda. Melihat mereka sebagai manusia, sebagai suatu entitas yang utuh. Sebagai seorang warga negara, tetangga, keluarga, saudara, teman, atau siapa pun mereka dalam kehidupan kita.   

Tetangga saya seorang syi’ah.  Apa karena dengan ke Syi’ahannya itu saya serta merta harus memutus silaturahmi dengannya. Apa karena dengan kesesatannya itu saya kemudian harus membunuhnya, merampas hartanya, menjadikan istri dan anak-anaknya budak. Apakah semua orang syi’ah yang ada di sekitar kita harus di generalisasi,  disamakan statusnya seperti syi’ah-syi’ah di Suriah atau Iran sana.

Ah bukannya itu terlalu paradoks. Bukankah kita selama ini juga tidak rela ketika Islam di generalisasi. orang-orang menyamakan kita dengan aliran-aliran ekstremis di luar sana “ISIS” misalnya. Bukannya kita juga yang selalu sibuk berkoar-koar menanggapi ocehan-ocehan non muslim tentang tuduhan teroris yang selama ini disemakkan ke kita umat Islam pada umumnya. Kita selalu berusaha membela diri, mengeluarkan berbagai argumen untuk menyelamatkan citra kita.

Saya melihat begitu lucu  tingkah saudara-saudara saya yang membenci mereka begitu berlebihan. Mencaci maki mereka di media sosial, begitu bernafsu menyebar gambar-gambar provokatif. Mendiskreditkan the other di luar kita, memvonis sesat orang-orang yang kita anggap pendukung dan pembela mereka. Yang justru malah semakin membuat mereka tidak bersimpati pada kita.

Saya sering bingung, apa karena status mereka yang sesat itu (menurut kita) dengan serta merta menghilangkan hak-hak mereka sebagai manusia, hak mereka sebagai warga negara, hak konstitusi mereka yang telah dijamin undang-undang, atau bahkan mungkin hak mereka untuk hidup dan menikmati kehidupan.  Bukannya Islam adalah rahmatalillalamin, rahmat bagi seluruh alam, rahmat bagi kaum muslimin dan rahmat bagi mereka yang ada di luar kita. Bukankah Tuhan kita sendiri tidak melarang kita bergaul dengan umat lain selama mereka tidak memerangi kita.

Saya merasa justru selama ini kitalah yang tidak ingin menjadikan Islam sebagai rahmat bagi seluruh alam. Kita egois, menganggap rahmat itu hanya untuk diri kita sendiri. Kita akhirnya tidak bisa menerima kehadiran the other di luar kita. Kita dengan gampang memvonis, menuduh dan  menghakimi mereka.

Saya hanya berharap dunia yang kita pijak ini, dunia yang kita huni bersama ini, menjadi tempat yang lebih baik untuk hidup, untuk persahabatan, untuk kemanusiaan, untuk perdamaian umat manusia. Saya berharap kita bisa melihat segala sesuatunya secara proporsional. Saya berharap kita bisa lebih memanusiakan manusia tanpa harus melihat dari golongan mana mereka berangkat.


* “Kita” disini merujuk pada diri penulis pribadi. Penggunaan kata “kita” hanya untuk pemakaian diksi yang lebih sopan.
* Part I silahkan merujuk pada link berikut     

0 komentar: