Suatu Hari di Bandara Hari ini saya di bandara. Menyaksikan secara langsung apa yang selama ini hanya bisa saya bayangkan. Bias...

TERBANG



Suatu Hari di Bandara

Hari ini saya di bandara. Menyaksikan secara langsung apa yang selama ini hanya bisa saya bayangkan. Biasanya saya yang selalu dijemput atau di antar ke bandara. Setiap kali diantar dan pesawat saya lepas landas, saya selalu bertanya-tanya bagaimana hati ibu saya di belakang.

Saya lagi duduk  manis di ruang tunggu bandara, menunggu kedatangan pesawat yang menerbangkan adik saya dari pulau seberang. . Aslinya bukan ruang tunggu sih, hanya semacam ballroom untuk menyaksikan pesawat datang dan pergi. Kursi-kursi berjejer rapi menghadap landasan pacu.

Penasaranku terjawab sudah. Di depanku seorang ibu memeluk putranya yang sebentar lagi akan terbang meninggalkan dirinya, dari potongannya saya kira putranya itu seorang tentara. Ransel loreng, celana pendek dan kaos oblong ijo-ijo cukup menjadi alibi yang kuat.

Apa yang kusaksikan, persis seperti ketika saya akan berangkat, pelukan erat seorang ibu yang seakan tak rela melepas anaknya. Meskipun demikian dia tetap juga harus melepasnya. Setelahnya, bagian yang selalu menjadi losting momen bagiku dan bagi anak-anak yang meninggalkan ibunya. Bagian yang hanya dirasakan oleh orang-orang yang ditinggalkan orang yang dikasihinya.

Momen itu tergambar jelas di depan mataku. Saya berusaha melihat sedetail dan serinci mungkin. Bagaimana si Ibu tak bisa melepaskan tatapannya pada putranya, sampai si anak hilang dibalik koridor. Bagaimana si Ibu begitu berusaha menguatkan dirinya, tapi buliran air matanya tumpah juah, tak mampu dicegah membasahi sudut-sudut matanya. Bagaimana tatapan hampa si Ibu menyaksikan pesawat  meninggalkan landasan pacu membawa sibuah hati terbang membelah langit. Bagaimana hingga satu jam kemudian, saya masih melihat ibu itu duduk terdiam memandang jauh dengan tatapan hampanya itu. Ini juga yang mungkin terjadi pada setiap ibu yang menyaksikan anak-anaknya pergi. ;-(

Mungkin memang orang tua jarang mau melepas anak-anak mereka. kitalah yang melepaskan diri dari mereka. Kita pergi. Kita pindah. Kita akhirnya mulai hidup sendiri. Tidak lagi membutuhkan pengakuan keberhasilan dari pujian ibu atau anggukan ayah. Kita belajar menikmati pencapaian kita sendiri. Baru belakangan, lama setelahnya, ketika kulit mulai keriput dan jantung mulai melemah, kita akhirnya mengerti; kisah hidup kita, dan seluruh pencapaian sukses kita, bertumpu di atas kisah kehidupan ayah-ibu kita, batu demi batu. Tertumpuk. Di bawah permukaan air kehidupan mereka.


0 komentar: