Sabtu 19 Oktober 2013 Fajar beranjak menyingsing , satu malam berlalu lagi, satu mimpi menyesakkan terlewati lagi. Awal kehidupan b...

Kelana Kurban: Dari Lereng Gunung Kawi Ke Pesisir Pantai Kondang Merak



Sabtu 19 Oktober 2013

Fajar beranjak menyingsing , satu malam berlalu lagi, satu mimpi menyesakkan terlewati lagi. Awal kehidupan baru bermula, burung kutilang asyik bernyanyi di pohon mangga halaman depan menggoda kutilang betina yang bertengger sombong di dahan paling atas. Sabtu pagi ini seperti sabtu pagi sebelumnya, juga sabtu sebelum-sebelumnya, dan entah sampai ke beberapa sabtu lagi. Lagi-lagi saya duduk di sudut terpojok di puskot ini. Bagian terfavorit.  Sudut di mana kalian bisa mengamati berbagai kesibukan Poskut dengan leluasa.  Mengamati dua sejoli yang bersmesraan, takut-takut, malu-malu.  wajahnya bersemu merah, tangannya saling menggenggam di balik meja, sesekali saling melirik, tersipu. Ahh begitiluah cinta, sejak jaman bahula kisahnya selalu saja seperti itu.

Sepagi ini Puskot sudah segini ramainya, mungkin efek liburan lebaran Kurban kemarin. Setelah puas mengisi perut dengan beraneka makanan olahan daging, sekarang manusia-manusia ini lagi pada sibuk menutrisi otaknya. Berbicara tentang kurban, banyak hal menarik yang akan saya tuliskan. Dua tahun ini saya jadi panitia Kurban di Lembaga tempat saya berasosiasi. Dan menariknya, dua tahun ini pula saya selalu dapat tugas mengantar paket daging ke daerah terpencil di tempat saya ini. Daerah pedalaman,  bisa dikatakan masih terputus dari dunia luar, terisolasi dari peradaban. Bukan mendramatisir tapi justru kenyataannya jauh lebih parah di banding dengan apa yang kalian bisa bayangkan. 

Tahun lalu misalnya, saya dan beberapa teman saya ditugaskan mengantar paket daging ke titik terdalam di kawasan lereng Gunung Semeru, nama desanya aku lupa persisnya. Setau saya desa itu masih terletak di kecamatan Senduro. Didiami oleh masyoritas suku tengger yang kebanyakan dari mereka masih menganut kepercayaan animisme. Suatu fakta menarik ditorehkan para aktivis dakwah yang ditugaskan memperkenalkan Islam di sana. Sejak  beberapa tahun silam pertumbuhan Islam  kian subur dan bahkan kini hampir sebagian dari penduduk telah beralih meninggalkan agama nenek moyang mereka

Akses masuk desa terisolasi, tanpa penerangan dan benar-benar terputus dari dunia luar, dan lucunya kalian tau aku iseng nanya ke salah satu dari penduduk desa perihal negeri kita, dengan polosnya dia menggelengkan kepala, sambil tersenyum menjawab “tidak tahu”. Astaga gumamku. Jangankan perkembangan dunia luar, melihat cahaya lampu di malam hari saja mungkin mereka belum pernah. Ahh... Hidup memang kadang sangat paradoksal, di dunia bagian lain negeri ini para pemimpin negeri kita entah meributkan perkara apa, mereka yang katanya wakil-wakil kita, mereka yang katanya akan memperjuangkan nasib-nasib kita, mereka yang katanya akan ini, akan itu., bla..bla..bla... ah, bosen. Dan sialnya, justru merekalah yang menikmati segala kemewahan hidup, bergelimang dengan fasilitas serba modern dan mungkin tak pernah berpikir ada setitik kehidupan di pelosok negeri ini.

Selasa 15 Oktober 2013
 
     Matahari beranjak matang, angin timur bertiup kencang membawa aroma hujan dari kejauhan sana. Oktober ini Kemarau akan segera berakhir. Suara takbir masih terdengar mendayu-dayu dari balik celah-celah bukit. Baru saja tadi pagi umat Islam merayakan lebaran Iduel Adha atau lebih sering disebut Iduel Kurban, kesibukan yang sama terlihat hampir diseluruh masjid-masjid besar di kota Malang, menyembelih dan menguliti sapi-sapi dan kambing, kemudian di bungkus kecil-kecil untuk dibagikan ke masyarakat banyak. Euforia lebaran tadi pagi masih kental terasa. Aroma daging segar memenuhi udara. Orang-orang tapak lalu-lalang membawa berkantong-kantong daging, kesibukan di sana-sini. Beberapa orang masih tampak bersitegang dengan tengkulak kambing, saling ngotot menentukan harga yang pas. Seperti tahun kemarin, tim ekspedisi kurban kami telah bersiap berangkat menuju lokasi masing-masing. Kali ini tim kami tidak lagi ke lereng Gunung Semeru, melainkan di sebuah desa kecil di kaki Gunung Kawi. Kalian pasti familiar dengan nama gunung yang satu ini. Konon katanya di gunung ini sering ditempati pesugihan para pencari kekayaan instan.
  Kami mengantar lebih dari 100 kantong daging sapi dan tiga ekor kambing utuh yang telah dikuliti ke sana. Perjalanan sedikit mencekam, dibutuhkan setidaknya tiga atau empat jam perjalanan untuk sampai pada tempat tujuan. Jalanan berliku, tebing-tebing curam, tanjakan dan hutan-hutan pinus menemani perjalanan kami. Perjalanan semakin melambat, beratnya daging yang harus di bonceng ditambah kabut pekat menyelimuti lereng gunung menghambat kecepatan sepeda kami, jarak pandang sangat terbatas. Aroma daging terbakar dari tetesan darah yang kebetulan mengenai knalpot menambah kemistisan perjalanan ini. Berkendara di antara kabut di tengah hutan pinus membuat perjalanan terasa menyusuri dimensi lain belahan bumi ini. Ngeri dan mendebarkan. Lepas Isya kami sampai tujuan, menyerahkan paket kurban ke masyarakat yang sedari tadi menanti kami di sana. Kami disambut hangat oleh warga sekitar. Kepenatan terbayar sudah. Melihat senyum senang penduduk desa, membayangkan nikmatnya gulai kambing yang mungkin hanya bisa dirasakan sesekali ini. Wajah-wajah lugu dan polos anak-anak kecil berlarian di sekitar kami, tertawa riang dan sesekali melirik malu-malu.  Prosesi serah terima daging di laksanakan, sejam kemudian Setelah berbicara satu dua kalimat, kami pamit. Perjalanan pulang terasa lebih cepat, di samping karena tumpukan daging-daging yang tadi sudah berpindah tangan juga ada perasaan bahagia membuncah di dadah menjadikan kendaraan terasa begitu ringan. Ah, betapa sederhananya kebahagiaan itu.
Esoknya kami melanjutkan ekspedisi daging kurban. mengantar beberapa ekor kambing ke daerah Malang selatan, tepatnya di desa nelayan di pesisir pantai Kondang Merak. Desa yang di huni tidak lebih dari 35 kepala keluarga.  Rute ke sana lumayan sulit, beruntung kali ini kita tidak lagi menggunakan sepeda motor sambil membonceng daging-daging di belakang kami. Kami menumpang mobil yang disediakan  yayasan. Dari Malang setidaknya dibutuhkan 2 sampai 3 jam perjalanan. Untuk sampai tujuan kita melewati kebun-kebun tebu penduduk dan terakhir sebelum memasuki pesisir pantai kita melewati jalanan berbatu di tengah hutan-hutan  belantara, kira-kira 10 km jauhnya. Gelap. Sesekali satwa-satwa liar penghuni hutan tersorot lampu mobil, menyeberang jalan.
Azan isya berkomandan persis ketika kami memarkir mobil di halaman tetua kampung. Kami pun memutuskan menunaikan kewajiban kami dulu, menghamba kepada zat Yang telah menganugerahkan kemudahan-kemudahan hidup kepada kami, termasuk kemudahan perjalanan kali ini. Sholat isya berlangsung khidmat. Angin sepoi-sepoi bertiup menerobos dinding bambu  langgar yang terlihat bolong sana sini. Hampir semua rumah di kampung nelayan ini masih belum permanen. Berdinding bambu, beratapkan rumbia dan berlantaikan tanah.
Setelah sholat prosesi serah terima pun dilaksanakan. Prosesi sederhana, diserahkan secara simbolis yang diwakili tetua setempat. Setelahnya kami disuguhi aneka panganan laut, dari cumi-cumi sampai ikan bakar lezat yang menggiurkan. Tak tahan rasanya tidak segera menghabiskan makanan yang tersaji. Bener saja tak butuh waktu lama makanan yang ikan-ikan tersedia tandas sudah, menyisakan piring-piring belepotan dan tulang-tulang ikan berserakan. 
Malam baru beranjak, kami memutuskan menikmati indahnya malam di pantai sejenak. Setelah kemarin menikmati sejuknya lereng gunung, kini aku duduk termenung di atas hamparan pasir putih di pantai Kondang Merak. Memperhatikan dari kejauhan bulir-bulir ombak yang tiada hentinya bergemuruh, berkejar-kejaran tanpa lelah. Angin pantai berhembus pelan, terasa hangat, sehangat penghuni pesisir pantai ini. Awan pekat menutupi cahaya rembulan yang seharusnya bersinar lembut, suara bergemuruh bersahut-sahutan. Teman-temanku entah ke mana, berlari menelusuri pantai menikmati pijatan lembut pasir-pasir pantai. Aku duduk sendiri. Termenung. Mencoba berkontemplasi, merenungkan berbagai hal yang selama hidupku ini belum bisa kupecahkan, merenungkan kembali perjalanan-perjalanan saya selama ini. Berusaha kembali meraba definisi kebahagian hidup. Dan terakhir aku lagi-lagi harus banyak belajar, belajar tentang banyak hal, terutama pancaran cahaya kebijaksanaan alam yang selama ini terlalu luput kita perhatikan. 


“semoga saja tahun depan masih diberi kesempatan belajar banyak dari perjalanan hidup”


0 komentar: