• Orang menjadi manusia, dan manusia di antara insan-insan, hadir dan tidak tersingkir dalam tarikh, bukan sebab adanya persekutuan para k...

Hikma Tercecer dalam sebuah Tulisan

Orang menjadi manusia, dan manusia di antara insan-insan, hadir dan tidak tersingkir dalam tarikh, bukan sebab adanya persekutuan para kawan tapi juga adanya perseteruan para lawan
Aku bukanlah seorang yang bediri sendiri. Aku memahami arti keakuan karena orang-orang lain menjadi kau-dia-mereka. Orang-orang diluar aku menjadi kita, ketika kau-dia-mereka mengetahui bahwa kita lahir di dunia dengan sejarah tidak bisanya kita memilih waktu, tempat dan orang tua.
History dalam arti sejati, yaitu sebuah ladang pengungkapan musykil tentang manusia-manusia yang hadir ataupun tersingkir pada sebuah wilayah waktu.
Berpenampilan kudus seperti nabi, tapi berkelakuan kudis seperti babi. Obsesinya menjadi Tuhan walaupun hasilnya hanya menjadi iblis.
Kita ini kan semua punya kedudukan. Kedudukan harus dipandang sebagai piranti merebut anganan keuntungan. Kedudukan tanpa keuntungan itu nubazir. Dari dulu kita sudah belajar itu. Dengan kedudukan kita memberikan batas kabur antara kebenaran dan kesalahan serta kebatilan dan kebaikan.
Bahwa dengan kedudukan itu kita punya tujuan yang satu. Yaitu keberadaan harkat sepenuhnya ditentukan oleh keberadaan harta. Jangan kita munafik , saya tidak mau mengundang penghinaan orang terhadap diri saya kalau kedudukan saya alpa dari perhitungan keuntungan.
Itulah ciri kepandaian para pejabat. Dengan korupsi, pejabat tidak hanya memberlakukannya sebagai budaya, pejabat tidak hanya memberlakukannya sebagai budaya, tetapi sekaligus menjadikan dirinya sebagai budaya.
Ini bukan masalah perhatian lagi. Kita sudah pada hakikat “tangungjawab”. Sebab ‘ perhatian’ Cuma mencakup persoalan hati, kita juga perlu menggunakan nalar, akal budi., dengan nalar dan akal budi itu kita dibawah ke pemahaman kita pada ‘tangggungjawab’.
Betapa sering terjadi penyelewengan rohani karena godaan yang demikian setia dari kecendrungan-kecendrungan kekuasaan dalam perasaan-perasaan berkuasa.
bahwa dalam kehidupan manusia ini selalun ada waktu yang berkosokbali : ada waktu beriang-riang ada waktu nertangis-tangis, ada waktu bersuka cita ada waktu berduka cita, ada waktu menyonsong kelahiran ada waktu menggiring kematian.
Dia tidak percaya Tuhan lagi. Sebutan yang tepat, bukan ateis tapi antiteis. Maksudnya ateis berkonotasi alami, sedangkan antitesis berkonotasi asasi. Atau lebih deskriftif : ateis bersipat praktis dan antiteis bersipat teorotis. Artinya, orang ateis bisa saja tidak percaya Tuhan karena tidak tahu, sementara orang antiteis adalah orang-orang dari golongan yang pernah percaya pada Tuhan, tapi kemudian tidak lagi percaya lantas menganti rasa percayanya pada kemampuan otaknya sendiri, nalarnya sendiri, rasionya sendiri.
Dosa ? repotnya dia tidak percaya tentang dosa. Dia lebih percaya pada kata hatinya sendiri. bahwa rasa takut akan dosa-dosa yang diceritakan oleh orang-orang tua di masa kanak-kanak hanyalah sebatas gangguan saraf yang mempengaruhi keadaan jiwa. Sudah lama dia tidak percaya pada cerita itu. Dia pun tidak percaya tentang adanya Tuhan dan setan. Ketika ia menganggap tidak ada lagi Tuhan ataupun tidak ada lagi setan, maka dengan begitu sadar dia telah mengambil inisiatif untuk menjadi Tuhan sekaligus menjadi setan. Namu satu hal yang harus kita sadari, dibalik kehidupan ada kematian yang begitu pasti membayang-bayangi kehidupan itu. Kematian itulah yang sekarang menjadi kenyataan yang tidak bisa dilawannya akan adanya Tuhan dan adanya setan.



disadur dari novel berjudul : Pangeran Diponegoro 
karya Remy Sylado  


0 komentar: